Lewati ke pemutarLewatkan ke konten utama
JAKARTA, KOMPAS.TV - Kasus ledakan di SMA Negeri 72 Jakarta yang menyebabkan 92 orang luka-luka menyisakan pertanyaan soal motif terduga pelaku.

Temuan sementara polisi, terduga pelaku merupakan salah satu siswa yang kini telah ditetapkan sebagai anak yang berkonflik dengan hukum.

Kapolda Metro Jaya Irjen Asep Edi Suher bilang anak yang berkonflik dengan hukum bertindak secara mandiri tanpa terikat jaringan teror mana pun.

Dari pemeriksaan saksi-saksi, diketahui pelaku merupakan sosok yang tertutup dan jarang bergaul.

Penyidikan polisi juga menemukan dorongan terhadap perilaku anak yang berkonflik dengan hukum tersebut sehingga memicu aksi kekerasan di sekolah Jumat pekan lalu.

Di antara dorongan tersebut, ia merasa sendiri dan tak ada tempat untuk bercerita keluh kesahnya, baik di sekolah maupun keluarga.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta sekolah dan keluarga untuk tidak abai dengan kesehatan mental anak.

Selain itu, meski belum dipastikan ada perundungan, KPAI mengingatkan sekolah untuk meningkatkan perlindungan keamanan anak, termasuk memperkuat penerapan tim pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan.

Dalam rilis kasus ledakan di SMAN 72, polisi membeberkan kronologi serta merilis detik-detik rekaman CCTV saat terduga pelaku ledakan melakukan aksinya.

Polisi bilang, anak berkonflik dengan hukum terlihat membawa tas punggung dan sempat memantau situasi.

Ia sempat melepas seragam lalu berjalan ke masjid sekolah sambil membawa tas dan menenteng senjata mainan.

Kita akan membahasnya bersama Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri dan juga Komisioner KPAI, Diyah Puspitarini.

Baca Juga Dirut RS Ungkap Korban Ledakan SMAN 72 Jakarta Alami Gangguan Pendengaran hingga 90 Persen di https://www.kompas.tv/regional/630048/dirut-rs-ungkap-korban-ledakan-sman-72-jakarta-alami-gangguan-pendengaran-hingga-90-persen

#ledakan #sman72jakarta #kelapagading

_

Sahabat KompasTV, apa pendapat kalian soal berita ini? Komentar di bawah ya!

Artikel ini bisa dilihat di : https://www.kompas.tv/regional/630153/loneliness-with-rage-reza-indragiri-dan-kpai-kupas-akar-psikologis-di-balik-ledakan-sman-72
Transkrip
00:00Kasus ledakan di SMA Negeri 72 Jakarta yang menyebabkan 96 orang luka-luka
00:13menyisakan pertanyaan soal motif terduga pelaku.
00:17Temuan sementara polisi terduga pelaku merupakan salah satu siswa
00:21yang kini telah ditetapkan sebagai anak yang berhadapan dengan hukum.
00:26Kapolda Metro Jaya Irjen Asep Edi Suheri bilang
00:30anak yang berkonflik dengan hukum bertindak secara mandiri
00:34tanpa terikat jaringan teror manapun.
00:37Dari pemeriksaan saksi-saksi, diketahui pelaku merupakan sosok yang tertutup dan jarang bergaul.
00:44Diketahui merupakan seorang siswa SMA aktif
00:47yang bertindak secara mandiri dan tidak terhubung dengan jaringan teror tertentu.
00:55Berdasarkan keterangan yang kami himpun,
00:59ABH yang terlibat dalam kasus ledakan ini dikenal sebagai pribadi yang tertutup,
01:05jarang bergaul, dan dia juga memiliki ketertarikan pada konten kekerasan
01:09serta hal-hal yang ekstrim.
01:15Penyidikan polisi juga menemukan dorongan terhadap perilaku anak berkonflik dengan hukum tersebut,
01:21sehingga memicu aksi kekerasan di sekolah Jumat pekan lalu.
01:26Di antara dorongan tersebut,
01:28ia merasa sendiri dan tak ada tempat untuk bercerita keluh kesahnya
01:32baik di sekolah maupun keluarga.
01:34Yang kami peroleh dari hasil penggalian keterangan maupun petunjuk-petunjuk yang ada,
01:41bahwa yang bersangkutan anak berkonflik dengan hukum ini
01:47terdapat dorongan untuk melakukan peristiwa hukum tersebut.
01:53dorongannya di mana yang bersangkutan merasa sendiri,
01:59kemudian merasa tidak ada yang menjadi tempat untuk menyampaikan keluh kesahnya.
02:11Baik itu di lingkungan keluarga, kemudian di lingkungannya itu sendiri,
02:16maupun di lingkungan sekolah.
02:18Ini yang menjadi perhatian kami juga bersama dengan KPAI.
02:26Komisi Perlindungan Anak Indonesia, KPAI,
02:29meminta sekolah dan keluarga untuk tidak abai dengan kesehatan mental anak.
02:35Selain itu, meski belum dipastikan ada perundungan,
02:38KPAI mengingatkan sekolah untuk meningkatkan perlindungan keamanan anak,
02:42termasuk memperkuat penerapan tim pencegahan dan penanganan kekerasan di Satuan Pendidikan.
02:49Yang jelas, hari ini yang berada di lingkungan Satuan Pendidikan
02:55tidak boleh abai terkait dengan kesehatan mental anak-anak
02:59dan tidak boleh hanya fokus pada bagaimana kegiatan belajar berlangsung,
03:04tetapi juga perlu melakukan perhatian atau pengawasan terkait dengan aktivitas anak ketika di luar jam belajar.
03:15Yang kedua, anak-anak tentu membutuhkan adanya support yang kuat dari semua yang berada di lingkungan terdekatnya,
03:27terutama tentu keluarga, orang tua, dan juga termasuk lingkungan terdekat di Satuan Pendidikan.
03:34Dalam merilis kasus ledakan di SMA Negeri 72,
03:38polisi membeberkan kronologi serta merilis detik-detik rekaman CCTV saat terduga melakukan aksi peledakan.
03:47Polisi bilang anak berkonflik dengan hukum terlihat membawa tas punggung dan sempat memantau situasi.
03:54Ia sempat melepas seragam, lalu berjalan ke masjid sekolah sambil membawa tas dan menenteng senjata mainan.
04:00Tim Liputan, Kompas TV
04:04Saudara polisi sebut kesendirian tanpa tempat berkeluh kesah.
04:12Jadi salah satu faktor yang mendorong salah seorang siswa melakukan peledakan di SMA Negeri 72 Jakarta.
04:18Kita akan bahas hal ini bersama pakar psikologi forensik Reza Indragiri
04:22dan juga komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia KPAI, Dia Puspitarini.
04:26Selamat malam Pak Reza.
04:28Selamat malam, Assalamualaikum.
04:29Waalaikumsalam, Waalaikumsalam, Waalaikumsalam.
04:30Budiah, Selamat malam, Assalamualaikum.
04:32Selamat malam, Waalaikumsalam, Mas Rendi.
04:34Saya ke Budiah dulu kalau gitu.
04:36Budiah, begini.
04:39Soal kebijakan sekolah terhadap siswa yang terisolasi.
04:42Karena saya berbicara kenapa terisolasi?
04:44Karena mereka, karena yang bersangkutan bercerita kepada polisi,
04:47merasa sendiri, merasa tidak ada yang bisa diajak berkomunikasi.
04:52Nah, apakah sekolah-sekolah di Indonesia sudah punya protokol khusus untuk mendeteksi
04:55dan menangani siswa yang mengalami sosial withdrawal berkepanjangan seperti ini?
04:59Budiah.
05:00Oke, baik.
05:02Kami pernah berkomunikasi dengan beberapa sekolah
05:05dan saya sendiri juga pernah menjadi guru ya.
05:07Jadi, sebenarnya belum ada standar yang umum atau baku ya.
05:13Bahwa sekolah itu harus ada asismen dari awal.
05:16Tetapi, tidak kita pungkiri bahwa sebagian besar sekolah di Indonesia ini
05:20sudah melakukan asismen.
05:22Oke.
05:22Ya.
05:23Dan asismen itu penting.
05:25Kenapa?
05:25Karena bisa mengetahui bagaimana kondisi anak.
05:27Itu yang pertama.
05:28Yang kedua, mengetahui latar belakang keluarga.
05:32Dan yang ketiga, itu mengetahui anak ini nanti kecenderungannya bagaimana.
05:36Ya.
05:36Nah, kalau kita bisa mengetahui dari asismen awal
05:40dan di beberapa sekolah sudah dilaksanakan ini,
05:42itu akan memudahkan pihak sekolah
05:44untuk mengetahui dan memetakan kerentanan anak.
05:47Oke.
05:47Kerentanan anak ini menjadi penting.
05:49Karena hari ini kita berbicara,
05:51anak itu tidak berdiri sendiri.
05:53Anak itu ada orang tua.
05:54Anak itu ada latar belakang ekonomi.
05:57Anak itu juga memiliki kepribadian yang seperti apa.
06:00Itu kan kita harus mengetahui ya.
06:02Nah, memang sebagian sekolah belum.
06:04Ya, sebagian besar sekolah di Indonesia memang belum menerapkan itu.
06:07Tetapi bahwa sudah ada yang menerapkan itu juga sudah banyak.
06:11Oke.
06:11Maka kita belajar hari ini, ya dengan kejadian ini,
06:15mungkin ada kebijakan yang seharusnya dibuat, ya.
06:18Direkomendasikan bahwa seluruh sekolah, ya, mungkin bisa melakukan asismen awal.
06:23Ya.
06:23Dan saya juga mendengar ya, dari Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah,
06:28ini kan sudah memberikan pelatihan BK kepada seluruh guru.
06:32Ya, dengan artian, semua guru ini sudah memiliki kapasitas untuk melakukan asismen awal.
06:39Walaupun nanti memang harus ada ekspertise dari psikolog, begitu ya.
06:42Tetapi bahwa untuk memetakan kondisi anak, perlulah, saya kira.
06:48Dan ini, saya kira semua guru juga bisa, begitu.
06:52Oke.
06:52Karena saya dengar juga komposisi guru bimbingan konseling atau BK ini,
06:58satu guru untuk 900 siswa, katanya, begitu.
07:00Nah, ini yang juga, apa benar demikian? Boleh dijelaskan, Budya?
07:05Oke.
07:06Saya ralat ya, bukan 900, tapi 150.
07:09Oh, 150. Sudah mengecil, ya.
07:10Kemudian, saya akan jadi guru BK juga, Mas.
07:12Oke.
07:13Baik, baik.
07:14Jadi sekarang komposisinya satu guru untuk 150 siswa.
07:18Dan tentu saja ini masih belum ideal, ya?
07:20Iya.
07:22Dan begini, kemarin waktu hari Minggu, ketika kami datang ke sekolah,
07:26saya datang ke sekolah, itu kan saya tanya juga.
07:29Oke.
07:29Berapa jumlah guru BK di SMA 72?
07:32Ternyata guru BK ada tiga.
07:34Untuk 780 siswa.
07:36Oke.
07:37Nah, ini kan kurang, Mas.
07:38Kalau taruhlah satu orang guru BK, itu kan seharusnya 150.
07:42Nah, tiga guru BK itu semestinya mengapu 450 anak.
07:47Sementara di sekolah itu ada 780.
07:50Berartinya, ada kekurangan guru BK di situ.
07:53Itu pertama.
07:54Yang kedua, kita kami menangani, sebentar, Mas.
07:56Kami menangani kasus.
07:58Itu banyak sekali guru BK yang nol, Mas, di sekolah.
08:02Gitu.
08:03Jadi memang, kalau kita berbicara apakah masih ada kekurangan?
08:07Iya.
08:08Gitu.
08:08Baik.
08:09Saya ke Pak Reza.
08:10Kita akan dalami soal profiling kesendirian ekstrim, Pak Reza.
08:13Misalnya, saya bertanya begini.
08:15Dalam kasus SMA 72 ini, apakah kesendirian remaja yang berujung peledakan yang terjadi di SMA 72 ini?
08:24Bisa dikategorikan sebagai loneliness with rage misalnya.
08:26Atau, saya bertanya, tanda-tanda psikologi spesifik apa yang membedakan dengan misalnya kesepian biasa?
08:33Justru saya bertanya-tanya, kesendirian ini sepatutnya kita tempatkan sebagai gejala dalam kurung simptom
08:39atau sebagai sebuah masalah.
08:41Oke.
08:41Kalau menurut saya, kesendirian, artinya ketika seseorang memilih untuk menarik diri dari lingkungan sosialnya,
08:48itu lebih sebagai sebuah gejala.
08:50Oke.
08:51Sehingga, yang harus dijawab adalah bukan semata-mata bagaimana mengatasi gejala ini,
08:55bagaimana menghilangkan kesendiriannya.
08:57Bukan.
08:57Tapi, kita kembali ke akar persoalan di titik hulu, yaitu sesungguhnya masalahnya apa.
09:02Sampai kemudian, seorang anak memutuskan untuk kemudian menampakkan gejala dengan cara kesendirian semacamnya.
09:08Oke.
09:09Oke.
09:10Nah, perkiraan saya untuk mengamati atau mengobservasi seorang anak memilih untuk mengisolasi diri,
09:16menarik diri secara sosial, itu barangkali tidak hanya bisa mengharapkan seorang guru BK.
09:21Oke.
09:21Tapi, kita paham ada istilah mentoring.
09:24Ada mentor, ada mentee.
09:27Ada tentor, ada tenti.
09:29Untuk menunjukkan bahwa semestinya sesama siswa, misalnya yang paling sederhana,
09:33senior bisa melakukan pendampingan terhadap junior.
09:38Satu orang senior memonitor, melakukan tanda petik pengasuhan kepada adik-adik sebanyak 3-5 orang.
09:46Saya pikir pendekatan semacam ini bisa dilakukan,
09:48sehingga kita tidak lagi harus berkutat bagaimana caranya menambah guru BK,
09:52karena itu juga tidak mudah untuk itu.
09:54Dan juga tidak harus berpikir bagaimana mengurangi jumlah siswa,
09:56tapi justru memanfaatkan sumber daya yang sudah ada, yaitu sesama siswa itu sendiri.
10:00Oke, nah bagaimana ini bisa ditangkapi oleh KPA, Ibu Dia?
10:03Jadi tidak harus mengandalkan guru BK, Kota Pareja tadi.
10:07Bisa juga mengandalkan senior-seniornya yang ada di sekolah.
10:10Oke, saya setuju.
10:11Jadi begini, kalau kita berbicara di kasus 7-2,
10:15ini yang kebetulan kami juga terjun di lapangan.
10:17Kami yang bertemu dengan guru, kami yang bertemu dengan siswa,
10:20kami yang bertemu dengan anak korban,
10:22kami ketemu dengan si terduga yang sekarang sudah ditetapkan anak pelaku.
10:25Ini kan case-nya itu kompleks, Mas.
10:28Ya, case-nya itu sangat kompleks.
10:30Pertama, kalau dikata apakah anak ini kesendirian,
10:34ya, kesendirian itu faktornya kan dari apa kita bisa melihat ya.
10:37Dari latar belakang keluarga, kemudian dari bagaimana pendekatan keluarga.
10:42Anak ini kan memang sudah rentan dari awal, ya.
10:45Kemudian, yang kedua ditambah dengan kondisi di sekolah
10:49yang mungkin dia juga interaksinya kurang, terbatas.
10:52Anak ini pintar loh, Mas.
10:53Betul, saya dengar dulu, demikian.
10:55Itu yang kita harus garisbawahi.
10:57Anak pintar itu, kenapa kemudian dia menjadi agak berbeda dengan yang lainnya,
11:02mungkin keberterimaannya kurang, ya, dan lain sebagainya.
11:05Itu karena ada faktor ekonomi juga di belakangnya.
11:08Ada faktor yang dia tidak bisa mendapatkan keutuhan di rumah.
11:12Jadi, kalau kita melihat kompleks, nih, untuk kes yang si anak di 72.
11:16Nah, tapi kalau secara umum, misalnya, apakah ini kaitannya dengan pendampingan di sekolah, dan lain sebagainya,
11:22memang sangat kompleks.
11:23Saya katakan, ini melihat anak itu pertama saja, ini sudah kompleks, nih, anaknya, gitu, ya.
11:31Sehingga, saya kira kalau kita mendudukkan, apakah ini kaitannya dengan guru BK, dan lain sebagainya,
11:38ya, memang secara langsung tidak, ya.
11:40Nah, tetapi bahwa kalau bapak ibu ke kelasnya, ke kelasnya, dan melihat coret-coretan di meja anaknya,
11:48itu bisa melihat betapa kesepiannya dia, gitu.
11:51Dan seharusnya, guru itu bisa melihat itu dari awal, gitu.
11:57Karena tulisannya jelas, Mas, dan itu tulisannya sudah lama.
12:00Itu yang kita bisa melihat dari mata, ya.
12:02Dari mata, dari sekilas.
12:03Nah, yang kedua, itu interaksi juga, gitu.
12:06Nah, apakah harus menambah guru BK, memang saya setuju dengan Pak Prof Indra, ya.
12:11Jadi, memang kita tidak bisa menunggu dari sistem, dan lain sebagainya.
12:16Ada hal yang harus kita tekankan pada anak, yang itu bisa dilakukan oleh guru.
12:20Karena guru juga transfer of value, just not knowledge, ya.
12:24Sehingga, guru juga bisa menambahkan resiliensi kepada anak, gitu.
12:29Resiliensi kepada anak, penguatan bahwa,
12:31ini lho, nak, kamu tuh juga hidup di dunia seperti ini,
12:34ada orang yang nggak suka, ada orang yang senang,
12:37dan orang tua pun juga harus begitu, gitu.
12:39Sehingga, kan, merasa kesepian.
12:40Mestinya gitu, ya, Mas, ya.
12:41Baik.
12:42Karena Bu Diaz sudah menyinggung juga peran orang tua,
12:45dan hilangnya peran orang tua, sepertinya, ya, dalam kasus ini.
12:50Sehingga, mengakibatkan anak ini depresi.
12:54Saya akan bertanya ke Pak Reza.
12:55Kita bicara pathway depresi menuju tindak kekerasan
12:58yang akhirnya dilakukan sang anak ini.
13:00Bagaimana mekanisme psikologis ketika depresi akibat isolasi sosial,
13:05misalnya, Prof, bertransformasi menjadi ide kekerasan destruktif
13:09seperti yang terjadi di SMA 72 ini?
13:12Mari kita ingat kembali perkataan Kapolri General Listio Siget
13:16yang menyebut bahwa anak ini situasinya bersangkut paut dengan bullying atau perundungan.
13:21Kita bicara perundungan di titik hulu, kemudian kekerasan di titik hilir.
13:25Lantas apa prosesnya?
13:27Bagaimana siklusnya?
13:28Sampai kemudian pengalaman perundungan itu menjelma menjadi perilaku kekerasan.
13:34Dari sekian banyak kasus perundungan yang saya dan Yasa Nentera Anak
13:37masuk ke dalamnya, termasuk hadir di persidangan,
13:40saya cukup yakin untuk mengatakan bahwa korban perundungan
13:43tidak hanya menjadi korban satu kali,
13:46tapi mengalami viktimisasi majemuk.
13:48Fiktimisasi pertama, dia alami ketika dia menjadi sasaran perundungan teman-temannya.
13:55Dilecehkan, direndahkan, dihina-hina, disakiti, dan seterusnya.
13:58Yang sifatnya berulang.
14:00Tidak berhenti sampai di situ.
14:01Ketika anak mencoba mencari pertolongan,
14:03dia berkeluh kesah ke keluarganya,
14:05dia mengadu ke gurunya,
14:07pihak-pihak yang semestinya memberikan pertolongan
14:09justru mengeluarkan kalimat-kalimat klise
14:11yang memojokkan anak lebih jauh lagi.
14:13Tenanglah, sabarlah, maafkan, coba berteman.
14:17Ini situasi yang wajar.
14:19Waktu akan mengobati dirimu.
14:20Kalimat-kalimat yang terdengar indah,
14:22tapi sekali lagi justru memojokkan.
14:24Sadar tidak sadar,
14:25pihak yang memberikan pertolongan seharusnya,
14:27tapi justru melakukan viktimisasi kedua.
14:30Oke.
14:31Berlanjut lagi.
14:32Anak mengambil inisiatif konon polisi sahabat anak.
14:35Begitukan sebutannya ya.
14:36Jadi anak mencoba memberanikan diri untuk melapor ke polisi.
14:39Sebagian polisi mungkin mengatakan,
14:42laporan di kantor sudah sangat banyak.
14:43Sementara boleh jadi ini situasi pertemanan biasa.
14:46Secara salah kaprah dianggap seperti itu.
14:48Sadar tidak?
14:49Bahwa ternyata otoritas penegakan hukum,
14:51dengan pola respons seperti itu,
14:53melakukan viktimisasi ketiga.
14:55Ketiga.
14:56Viktimisasi majimu membuat anak akhirnya berpikir,
14:59sekaligus menarik simpulan,
15:00ternyata saya hidup sendirian.
15:03Tidak ada pihak lain yang bisa saya andalkan.
15:05Jalan keluar harus saya cari sendiri.
15:08Karena sensasi menjadi korban itu sedemikian menumpuk,
15:13kesedihan, kepedihan, ketakutan,
15:14sekaligus kemarahan itu menggumpal sedemikian rupa,
15:17maka cara mengatasinya adalah dengan melakukan kekerasan dengan bobot yang setara.
15:21Sehingga kita bisa bayangkan,
15:24dalam kasus di SMA ini mas,
15:26kok bisa-bisanya ya?
15:27Dia sampai melakukan kekerasan yang sedemikian ekstrim gitu kan?
15:31Tidak terbayang sebelumnya.
15:32Tidak terbayang sebelumnya.
15:33Walaupun kekerasan bagi saya dilakukan oleh korban-korban bullying,
15:37itu jamak gitu.
15:38Kita bisa tarik simpulan sekarang.
15:40Kekerasan dengan skala yang masif seperti itu,
15:43tak lain tak bukan,
15:44adalah cerminan dari gumpalan kemarahan,
15:47gumpalan kesedihan,
15:49gumpalan ketakutan,
15:50plus gumpalan perasaan sepi,
15:53yang juga setara bobotnya.
15:55Oke, dari viktimisasi tadi,
15:57ditambah lagi ada peran yang lain.
16:02Soal misalnya kaparan-kaparan konten-konten ekstrim,
16:06itu ditambah lagi.
16:07Nah, saya akan diskusikan hal itu,
16:09setelah jeda,
16:10nanti disampai nusyal bersama Pak Reza dan juga Budian.
16:12Saat lagi, tetaplah bersama kami.
16:14Oke.
16:17Tadi Pak Reza sudah menyinggung soal viktimisasi,
16:20yang bahkan dialami sebanyak tiga kali oleh
16:23anak berkonflik dengan hukum yang ada di SMA 72,
16:26yang saat ini sedang diproses hukum.
16:28Nah, setelah viktimisasi,
16:30ada faktor pemicu yang lain ternyata.
16:31Ada peran fantasi yang juga mendorong si anak ini melakukan kekerasan.
16:36Ada peparan konten ekstrim,
16:37seperti dark web misalnya,
16:38atau game, film memperkuat fantasi kekerasan pada remaja yang sudah terisolasi.
16:43Apakah ini lantas menjadi apa ya,
16:46final trigger untuk melakukan tindak kekerasan itu?
16:47Saya membayangkan kita bisa menerapkan analisis tiga tingkat.
16:53Free level analysis.
16:54Dalam psikologi forensik berarti kita harus melakukan pemetaan.
16:58Faktor yang mana, isinya apa.
17:01Jadi kita benar-benar begini.
17:02Di segmen sebelumnya, kita sudah menilai menyakutpautkan
17:05kondisi anak ini terkait dengan perundungan.
17:08Oke.
17:08Kita punya alasan untuk menempatkan perundungan sebagai deep factor,
17:12faktor mendalam.
17:13Kenapa?
17:14Karena salah satu mazhab dalam psikologi meyakini
17:17bahwa perilaku manusia,
17:18termasuk perilaku jahat manusia,
17:20itu bertitik mula dari trauma.
17:23Perundungan mengakibatkan guncangan psikologis.
17:25Barangkali bisa disetarakan dengan trauma.
17:27Sehingga kita letakkan dia pada lapis atau tingkat terbawah.
17:31Ini yang paling fundamental.
17:33Berlanjut.
17:35Di segmen ini sudah mulai disinggung.
17:37Anak itu berulang kali terpapar materi-materi kekerasan.
17:40Berlangsung secara berulang.
17:42Kita bisa anggap itu sebagai sebuah proses belajar.
17:45Dalam kurung proses pengkondisian.
17:48Yang memang berlangsung secara salah.
17:50Sehingga terus-menerus atau berulang kali terpapar pada materi-materi kekerasan,
17:54itu kita bisa tempatkan di tingkat kedua.
17:58Conditioning factor.
18:00Tinggal satu level lagi.
18:02Yaitu faktor pemicu.
18:03Pertanyaannya,
18:05kenapa anak itu memilih waktu di situ dan tempat di situ
18:10untuk melancarkan aksi kekerasannya?
18:12Ini harus diinvestigasi.
18:14Apakah pemilihan tempat dan waktu semacam itu
18:16mengandung muatan simbolik tertentu?
18:18Atau lebih pada pertimbangan taktik belaka.
18:21Bahwa pada jam tersebut,
18:23di tempat seperti itu,
18:24sekali gebrak sekian banyak korban bisa langsung jatuh.
18:27Itu yang dipelajari tentunya dari
18:29apa tadi, dark web, game, dan film.
18:31Mungkin saja.
18:32Dan itu didalami oleh polisi tentu saja yang bisa menjawabnya.
18:35Bu Diaz, saya juga,
18:37karena tadi juga menyinggung soal orang tua.
18:39Faktor internal yang juga sudah disinggung oleh pada Zad tadi.
18:43Soal tanggung jawab orang tua,
18:44KPAI memandang orang tua seperti apa?
18:46Yang paling rentan dalam tanda kutip kehilangan anaknya dalam kesendirian.
18:50Hingga berujung kekerasan seperti ini.
18:51Satu, orang tua yang tidak utuh,
18:56itu sudah sama saja dengan pengasuhan yang rentan.
18:59Artinya kalau di dalam kasus ini kan si anak ini tinggal dengan ayah,
19:04tanpa saudara,
19:05dan kemudian ayahnya juga bekerja.
19:07Sehingga dia menghabiskan waktu sendiri.
19:09Ya, sendiri, kemudian dia lebih suka dengan dunia maya.
19:13Nah, yang kedua,
19:15yang kalau saya ingin menyampaikan,
19:17selain anak ini pinter, Pak Prof. Reza,
19:20anak ini juga,
19:21saya kira dia punya ini ya,
19:24dia punya cara di mana dia punya keinginan ya,
19:29keinginan untuk self-esteem.
19:31Self-esteem itu lebih kepada pembuktian dirinya.
19:34Pembuktian dirinya bahwa oke dia dibully,
19:37oke dia sendiri,
19:38oke dia tidak ada teman bicara.
19:40Barangkali begitu ya,
19:41kalau kami menangkap.
19:42Dan cara membuktikannya dengan ini loh,
19:45seperti ini.
19:46Kenapa?
19:46Apakah kami melihat,
19:48makanya kami meminta,
19:49ada apsifor nih yang mendampingi,
19:51bukan hanya psikolog biasa.
19:53Karena kami khawatir, Mas,
19:55di self-esteem ini,
19:57itu di beberapa kasus,
19:58mohon maaf,
20:00anak mengakhiri hidup yang kami dampingi selama 3 tahun ya,
20:03di KPA.
20:04Ini rata-rata memang,
20:06mereka korban bully,
20:07mereka kesepian,
20:08mereka tidak tahu cara keluar dari masalah,
20:10terus akhirnya mereka ingin self-esteem,
20:12membuktikan dirinya,
20:13dengan cara,
20:14ini loh, aku bisa melakukan ini.
20:16Begitu.
20:16Nah, ini pun kami juga khawatir,
20:19ada ujungnya.
20:20Ujungnya selain self-esteem,
20:22pembuktian diri adalah,
20:25suicide.
20:26Jangan sampai tapi ya,
20:27kita berdoa juga,
20:28ini ujungnya jangan sampai terjadi.
20:31Karena kita belajar di ledakan kedua, Mas.
20:33Oke.
20:34Di ledakan kedua,
20:36di mana anak itu,
20:37ledakan sendiri ya,
20:39yang berbeda tempatnya dengan di pertama.
20:42Jadi,
20:42itu yang sebenarnya kami sampaikan,
20:45kenapa KPAI meminta Apsi 4?
20:48Karena itu yang kami khawatirkan.
20:50Dan kalau sudah mencoba perilaku ini,
20:52itu khawatirnya akan berulang gitu.
20:54Kita kan tidak tahu.
20:56Dan anak,
20:56saat ini kondisinya masih terbatas,
20:58lemas informasinya.
20:59tetapi kan tim itu sebenarnya bisa menganalisis.
21:02Kalau kami hanya belajar dari yang sudah-sudah tuh,
21:04khawatirnya begitu.
21:05Dan ternyata di kedua,
21:07itu sudah upaya yang dilakukan oleh anak.
21:09Baik.
21:09Dan saya yakin anak ini dalam kondisi terpuruk saat ini,
21:12sehingga saya setuju,
21:13jika ada restoratif justice yang diterapkan,
21:15terhadap anak berkonflik dengan hukum,
21:16yang terjadi di SMA N72.
21:18Terakhir saya ke Pak Reza.
21:19Bicara soal rehabilitasi versus hukuman.
21:23Ini kan dua hal yang berbeda,
21:24tapi sepertinya harus sama-sama berjalan bersamaan.
21:29Dari sudut perspektif forensik.
21:31Remaja pelaku seperti ini lebih cocok di rehabilitasi psikiatri forensik
21:35atau cukup hukuman pidana biasa?
21:37Kita sepakat tidak bahwa ternyata
21:39anak yang kita sebut sebagai anak berkonflik dengan hukum
21:44dalam kurung pelaku ini,
21:46ternyata adalah sekaligus korban.
21:49Sepakat tidak?
21:49Sepakat-sepakat.
21:50Implikasinya apa?
21:51Ada dua.
21:52Pertama, mari kita insafi bersama,
21:54ketika seorang pelaku pidana,
21:57pada saat yang sama juga menyandang status sebagai korban,
22:00apalagi korbannya juga majemuk,
22:02maka sudah sepatutnya dia mendapat peringanan hukuman.
22:06Pertanyaan saya,
22:07apakah publik bisa menerima logika semacam itu?
22:10Perkiraan saya,
22:10karena saat ini masih pada fase marah,
22:13takut,
22:14dendam,
22:15dan seterusnya,
22:16maka saya bayangkan,
22:17terutama keluarga korban,
22:19akan murka.
22:20Tapi sekali lagi,
22:21ayo kita bernalar,
22:22bahwa setiap pelaku pidana,
22:25yang sekaligus menyandang status korban,
22:27maka status korban itu bisa menjadi hal yang meringankan hukuman.
22:31Implikasi kedua,
22:31karena kita bersepakat bahwa anak ini ternyata adalah korban,
22:36maka ada agenda yang lebih harus diprioritaskan ketimbang meminta pertanggung jawaban pidana.
22:41Apa itu?
22:42Memastikan bahwa anak yang menyandang status sebagai korban itu mendapat perlindungan khusus.
22:48Itu bukan kata Reza,
22:50itu kata undang-undang perlindungan anak.
22:53Bahwa anak yang menjadi korban kekerasan,
22:55anak yang korban,
22:56anggap juga,
22:56anggap anak ini sebagai korban perlakuan salah dan penelantaran.
23:01Tambah lagi,
23:01kalau kita kait-kaitkan dengan terorisme,
23:03anak korban jaringan terorisme,
23:05tiga status korban dia sandang,
23:07maka tiga bentuk perlindungan khusus pula yang harus diberikan.
23:11Jangan salah,
23:13negara ini memposisikan perlindungan khusus,
23:15negara berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan perlindungan khusus.
23:22Lalu kita konsekuen,
23:23karena kita ingin menegakkan peraturan,
23:25patuh pada peraturan perundang-undangan,
23:27maka sebelum saya menjawab pertanyaan Mas tadi,
23:29tentang bagaimana meminta pertanggung jawaban pidana-nya,
23:32ada agenda yang harus didahulukan,
23:33yaitu memastikan anak ini terpenuhi perlindungan khususnya.
23:37Mudah-mudahan Ibu Dia dan teman-teman di KPI bisa memastikan itu terrealisasi.
23:42Saya yakin juga Ibu Dia punya perspektif yang sama.
23:45Sikat Ibu Dia.
23:47Jadi ini sesuai dengan pasal 59A Undang-Undang Perlindungan Anak ya,
23:51dan itu amanat memang kami harus memastikan itu,
23:54yang pertama anak ini memang prosesnya harus cepat,
23:56kalau memang nanti di proses hukum,
23:58itu pun harus cepat.
23:59Yang kedua harus mendapatkan pendampingan psikososial,
24:02yang ketiga itu harus mendapatkan bantuan sosial,
24:05dan yang keempat itu juga harus mendapatkan perlindungan hukum.
24:08Dan sudah diatur, betul Pak Reza,
24:10sudah diatur di dalam Undang-Undang Perlindungan Anak di pasal 64,
24:14ataupun Undang-Undang Sistem Peradilan Bidana Anak.
24:16Jadi tidak usah khawatir,
24:17bahwa kita memastikan itu Pak Reza dan semuanya saja.
24:22Kemudian kami juga memastikan bahwa
24:24anak ini tidak mendapatkan intimidasi,
24:27ataupun juga identitasnya tersebar ya,
24:31karena itu ada juga di dalam Undang-Undang Perlindungan Anak.
24:34Oke, saya tambahkan sedikit, selain perlindungan khusus,
24:37mungkin juga ada pembinaan khusus,
24:39karena tadi sudah kita sepakati bersama,
24:40sudah kita ketahui bersama bahwa
24:41anak ini adalah anak yang cerdas,
24:43anak yang berpotensi menjadi seseorang di kemudian hari,
24:46sehingga negara bisa hadir untuk memberikan perlindungan dan pembinaan,
24:49untuk apa?
24:50Untuk kemudian hari bisa berguna juga untuk negara.
24:53Baik, terima kasih Pak Reza Indagri,
24:54sudah hadir di studio,
24:55dan juga Bu Diyah,
24:56dari KPI,
24:57selamat malam,
24:58sampai jumpa lagi.
24:59Assalamualaikum.
24:59Waalaikumsalam.
25:00Ya, salam.

Dianjurkan