JAKARTA, KOMPAS.TV - Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mencatat posisi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga Oktober 2025 mencapai 2,02 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Untuk membahas hal ini, Kompas Bisnis mewawancarai Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira.
Bhima menjelaskan bahwa penyebab pelemahan pajak bukan hanya restitusi. Kontribusi terbesar pajak berasal dari sektor industri pengolahan, yang kini sedang tertekan oleh kenaikan biaya produksi, harga bahan baku, hingga persaingan produk impor.
Baca Juga Tak Cuma Ekonomi 8 Persen, Menkeu Purbaya Beberkan Syarat Indonesia Jadi Negara Maju di https://www.kompas.tv/nasional/632442/tak-cuma-ekonomi-8-persen-menkeu-purbaya-beberkan-syarat-indonesia-jadi-negara-maju
Artikel ini bisa dilihat di : https://www.kompas.tv/ekonomi/632458/full-celios-bicara-soal-pajak-loyo-ancaman-defisit-apbn-2025-hingga-dana-asing
00:00Meski punya banyak program berbiaya besar, Presiden Prabu Subianto dihadapkan pada mesin uang perpajakan yang loyo.
00:08Tak hanya itu, ekonomi Indonesia juga diwarning oleh melambatnya pertumbuhan kredit perbankan.
00:14Padahal MENQ Purbaya sudah mengelontorkan ratusan triliun keperbankan.
00:18Awas Pak Presiden, pajak dan kredit sama-sama kurang tenaga.
00:22Kompas bisnis akan tanya.
00:23Kedirektur Eksekutif Selios, Bima Yudistira.
00:26Salah pagi Mas Bima.
00:28Salah pagi.
00:28Mas Bima kita ke soal perpajakan dulu nih, ekonomi tumbuh di atas tahun lalu.
00:34Kenapa penerimaan pajak melambat meskipun MENQ Suhasil sudah jelaskan ini karena restitusi katanya?
00:42Ya, faktor restitusi bukan jadi faktor utama sebenarnya.
00:46Kalau dilihat dari komponen pajak yang paling besar itu adalah industri pengolahan.
00:51Meskipun pertumbuhan ekonomi diklaim bisa lebih dari 5 persen,
00:56tapi industri pengolahan yang sumbang 30 persen dari total penerimaan pajak itu kondisinya sekarang sedang babak belur ya.
01:04Sedang mengalami tekanan, sedang ada kenaikan biaya produksi, biaya bahan baku,
01:11persaingan dengan produk impor yang semakin menggila.
01:14Jadi, tekanan industri juga berpengaruh pada penerimaan pajak.
01:19Kemudian, struktur ekonomi Indonesia adalah dari basis komoditas.
01:24Jadi, kalau dicek komoditas unggulan ekspor mulai dari batu bara,
01:28itu minusnya masih besar, masih di atas 18 persen dibandingkan tahun lalu.
01:33Kemudian, nikel masih minusnya 8,9 persen dibandingkan tahun lalu.
01:40Sawit ada rebound 1-2 bulan terakhir,
01:43tapi kalau dibandingkan year on year, itu juga masih ada kontraksi.
01:47Jadi, komoditas ini belum bisa menjadi andalan
01:50dalam mendorong dari sisi penerimaan pajak maupun PNBP.
01:55Ada kortex juga, jangan lupa yang sudah dijanjikan sebenarnya oleh Pak Purbaya akan dibenahi,
02:03tapi sebenarnya butuh waktu ya untuk melakukan evaluasi total terhadap kortex.
02:08Jadi, yang diharapkan pada awal tahun 2025,
02:11kortex itu bisa mengangkat kepatuhan tax compliance dari sisi pajak,
02:16tapi ternyata kortexnya nggak bisa terlalu banyak diharapkan.
02:19Kemudian juga ada quick win yang diharapkan dari sisi penegakan aturan korupsi pajak,
02:27tapi kan ini butuh proses ya.
02:28Meskipun kita apresiasi Pak Purbaya soal pencekalan dirijian pajak sebelumnya,
02:35kemudian pengusaha-pengusaha yang terkait dengan manipulasi pelaporan pajak,
02:41khususnya pada periode tax amnesty.
02:43Tapi, untuk menjadi uang masuk ke kas negara, tentu ini semua butuh waktu.
02:50Harapannya bisa cepat selesai prosesnya,
02:522026 itu bisa menutup shortfall pajak.
02:56Nah, jadi dengan kondisi yang ada sekarang,
02:59estimasi untuk shortfall penerimaan pajak itu bisa 250 triliun sampai 300 triliun rupiah,
03:06sampai akhir tahun 2025 ini.
03:09Oke, berarti artinya restitus ini bukan satu-satunya penyebab,
03:12tetapi tadi soal bagaimana adanya tekanan industri dan lain sebagainya.
03:15Mas Bima, dalam 2 bulan, ini kan pemerintah harus ngumpulin 700 triliun lebih untuk mencapai target.
03:21Apa resikonya kalau gagal?
03:22Konteksnya pembiayaan program Presiden Prabowo kan juga berbiaya besar nih,
03:25ada banyak program-program prioritasnya.
03:28Ya, ini kalau sampai gagal, dan pasti akan ada shortfall ya.
03:32Shortfall kan artinya gagal mencapai target penerimaan pajak,
03:35maka konsekuensinya adalah utang.
03:36Tadi dijelaskan oleh Mbak Wokta juga bahwa kalau utang pun juga nggak mudah hari ini.
03:42Karena spread ataupun selisih dari SBN, misalnya dengan surat utang dari Amerika Serikat,
03:51spread atau selisih imbal hasilnya juga relatif sempit.
03:56Kemudian kalau kita lihat ya, dari sisi utang, itu juga terjadi undersubscribe.
04:04Jadi setiap kali ada penerbitan utang atau SBN baru,
04:08tidak seperti sebelumnya oversubscribe.
04:09Jadi ini jadi salah satu tantangan.
04:12Sementara kalau dilihat ada yang nggak matching antara shortfall penerimaan pajak yang cukup besar di proyeksi,
04:18tapi di sisi yang lain, defisit APBN-nya masih jauh tuh dari target APBN atau asumsi APBN.
04:25Ini artinya apa?
04:26Ini artinya memang yang direm sekarang ini adalah dari sisi belanja.
04:29Maka efisiensi anggaran meskipun sudah dipacu untuk melakukan realisasi lebih cepat pada 2025 sisa tahun ini.
04:38Tapi tetap saja, untuk realisasi dari sisi belanja, ini proyeksinya yang akan ditekan.
04:45Dan efisiensi untuk tahun 2026 ini dipastikan akan berlanjut, bahkan angkanya jauh lebih besar dibandingkan 2025.
04:52Oke, ini jadi catatan nih hati-hati, karena utangnya bisa makin menggakalau terjadi shortfall pajak itu tadi.
04:58Mas Bima, kita ke angka defisit APBN per Oktober, realisasinya Rp479,7 triliun, 2,02 persen PDB.
05:06Dan sebetulnya Mas Renda dari outlook APBN yang 2,78.
05:09Pertanyaannya, kok bisa sih defisit angkanya terjaga?
05:12Meskipun itu tadi kondisinya banyak program berbiaya tinggi, penerimaan pajaknya juga loyo.
05:16Mungkinkah kondisi seperti ini?
05:19Ya, biaya tinggi dari belanja pemerintah harus dicek dari mana sumbernya.
05:24Jadi kalau biaya tinggi untuk makan bergizi gratis, ternyata Rp71 triliun itu mengambil dari dana-dana transfer daerah yang dipangkas panjang 2025.
05:35Kemudian alokasi anggaran untuk sekolah rakyat itu juga mengambil dana pendidikan yang sudah dialokasikan sebelumnya.
05:44Jadi kalau dilihat ini hanya utak-atik dari hasil efisiensi anggaran.
05:49Yang dikorbankan adalah realisasi anggaran di daerahnya, itu akan sangat rendah.
05:53Jadi tanpa meningkatkan penerimaan pajak, bisa nggak defisit terjaga?
05:59Jawabannya adalah bisa.
06:00Tapi yang harus dikalkulasi, MBG ini merugikan atau mengambil program apa?
06:07Yang sebenarnya program esensial pelayanan publik, pendidikan, kesehatan,
06:12yang sebenarnya punya dampak berganda ekonomi lebih besar daripada makan bergizi gratis.
06:18Atau program-program pemberdayaan UMKM di daerah.
06:21Ini kuterganggu karena adanya efisiensi anggaran untuk program yang sifatnya populis.
06:26Dan jadi kalau kita mengkalkulasikan itu, maka kita akan melihat program populisnya
06:33tidak memperlebar defisit APBN, tapi efek sampingnya yang dirasakan adalah
06:38ekonomi sebenarnya nggak bergerak di daerah secara optimal.
06:42Jadi ada konsekuensinya.
06:43Oke, artinya ada apa ya, semacam tambah sulam gitu loh ya, untuk membiayai program-program itu.
06:48Mas Bimang, kalau tadi itu soal bagaimana pembiayaan dari segi pajak yang juga loyal dan lain sebagainya.
06:54Tapi ketika defisit terjaga jauh di bawah outlook, sekarang kondisinya kenapa justru terjadi outflow
06:59atau kaburnya dana asing dari SBN November, ada 10,4 triliun dana asing yang hengkang dari instrumen Kemenkyo.
07:08Ya, sebenarnya peringatan dari beberapa lembaga internasional ya, salah satunya SNP juga,
07:13bahwa ada tantangan pertumbuhan 2026 ke depan, kemudian dari sisi ya, defisit APBN.
07:21Kalau sekarang pun coba diutak-atik antara belanja populis dengan mengorbankan efisiensi anggaran,
07:28terutama di daerah, memangnya tahun 2026 efek dari efisiensinya tidak akan sebesar ini ke perekonomian.
07:35Jadi banyak yang memprediksi, memproyeksikan, termasuk selios sendiri,
07:39bahwa tekanan ekonomi dari eksternal, dari domestik, dari kebijakan-kebijakan pemerintah itu sendiri,
07:47itu bisa membuat confidence, ataupun investor yang ingin masuk di pasar surat utang, portfolio,
07:54itu akhirnya melakukan wet-and-see, mengkalkulasi kembali.
07:58Begitupun juga tren perusahaan-perusahaan yang ingin ekspansi dengan mengandalkan utang.
08:03Nah, ini kan obligasi ini tidak hanya surat utang pemerintah,
08:07tapi juga ada obligasi korporasi, dan swastanya juga akhirnya jadi wet-and-see.
08:11Terlihat sebenarnya ada hubungan ke pasar obligasi swastanya juga lesu,
08:17tapi di sisi yang lain juga investor memahami.
08:20Karena sebelum menerbitkan obligasi swasta, tentunya investor juga harus melakukan pinjaman ke bank.
08:27Nah, banknya tadi disebutkan oleh Bank Indonesia ya,
08:29bahwa kredit menganggurnya itu Rp2.400 triliun,
08:34ditambah injeksi likuiditas Rp200 triliun dari Pak Purbaya,
08:40ini efeknya sampai sekarang belum mampu menurunkan landing rate atau suku bunga pinjaman,
08:45dan memompah pertumbuhan kredit di sisa tahun 2025.
08:49Oke, PR juga untuk pemerintah soal bagaimana menjaga kepercayaan dari investor.
08:55Mas Bima, nanti kita lanjutkan kembali, dan saudara tetap bersama kami di Kompas Bisnis.
08:59Lanjutkan perbincangan bersama dengan Direktur Eksekutif Selios, Bima Yudistira.
09:03Mas Bima, tadi kalau disebutkan prediksinya,
09:06kalau misalnya pemerintah nggak segera-gerak cepat,
09:08shortfall-nya bisa mencapai Rp250-300 triliun.
Jadilah yang pertama berkomentar