00:00Kesempatan ketiga saya berikan kepada, ini ada sahabat saya, Ngarso Dalam duduk di depan,
00:05Ibu Rosi Yana Silalahi.
00:08Rosi, Ngarso Dalam mungkin kaget melihat di antara semua list ada satu yang bukan orang Jogja nih.
00:13Bukan alumni Jogja, tidak pernah tinggal lama di Jogja.
00:17Tapi saya tanyakan kepada Panitia, Rosi diundang karena kalau untuk urusan media menyaksikan tidak perlu orang Jogja.
00:24Persetif media itu biasanya lebih luas melihat Indonesia.
00:26Nah bagaimana Rosi yang tinggal di Jakarta, Bajak, Batak, Jakarta, itu bisa menyaksikan Jogja kehidupan demokrasinya, persenya seperti apa.
00:36Kesempatan monggo digunakan, Ngarso Dalam. Silahkan Rosi.
00:39Ngarso Dalam yang kami hormati dan Bu Ratu Hemas yang kami cintai,
00:45mendengar penjelasan bahwa mereka yang ada di sini, lama tinggal di Jogja, berKTP Jogja,
00:52mahasiswa kampus di Jogja, saya memang minder.
00:56Tapi, tidak ada Kamus Minder di Orang Batak.
01:05Justru sebenarnya saya terundang di sini untuk menunjukkan bahwa tidak perlu lama tinggal di Jogja,
01:13tidak perlu berkampus di Jogja untuk tahu cara mencintai Jogja dan selalu ingin kembali ke Jogja.
01:19Satu hal sebenarnya mengapa saya selalu ingin pulang ke Jogja,
01:27dalam kalau liburan selain bertemu dengan Ibu Kesayangan, Ibu Ratu Hemas,
01:33itu Jogja mampu menunjukkan bahwa ada ketertiban paling tidak di, atau tidak ada kesombongan di Jalan Raya.
01:44Terima kasih Jogja, Anda telah memberikan teladan tidak ada kukuk, kukuk, kukuk, kukuk, kukuk, kukuk, kukuk, kukuk.
01:51Terima kasih.
01:51Sebenarnya, kami tahu bahwa Ngarso Dalem tidak pernah mau pakai patual.
01:58Tapi Ngarso Dalem juga tidak mau diliput oleh media untuk memberikan keteladanan bahwa seorang Ngarso Dalem tidak mau pakai patual.
02:06Untunglah ada mata netizen yang memberitahu bahwa seorang Ngarso Dalem, Raja Jogja, tidak perlu tutut kukuk, tutut kukuk, kukuk, kukuk.
02:18Terima kasih Ngarso Dalem telah memberikan keteladanan yang paling kecil sekalipun,
02:24tapi sungguh prinsip bagi kami orang Jakarta, karena saya dari rumah pasar minggu ke Palmerah,
02:30paling sedikit lima kali, tutut, wok, wok, tutut, wok, wok.
02:34Sekarang semuanya tampaknya malu pada Ngarso Dalem.
02:39Ngarso Dalem, indeks banyak menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia mengalami penurunan,
02:46begitu juga dengan kebebasan pers.
02:49Tetapi yang menarik adalah indeks demokrasi untuk Jogja yang dikeluarkan oleh indeks demokrasi Indonesia
02:55menunjukkan anomali, karena pada tahun ini dirilis indeks demokrasi Indonesia untuk Jogja itu hampir 90 poin
03:03yang tertinggi di seluruh provinsi Indonesia.
03:06Pertanyaan saya Ngarso Dalem, bagaimana seorang Raja Jogja yang corak memerintahnya adalah kerajaan atau kesultanan
03:17yang harusnya juga bisa mempraktekkan corak yang tanpa dialog, tidak membuka ruang dialog,
03:28itu bisa dipraktekkan oleh seorang, maaf saya menyebut, Raja Jogja.
03:33Tetapi kenapa justru di Jogja ini memberikan ruang publik yang partisipatif,
03:42kebebasan pers, dan tentu saja Ngarso Dalem juga kami tahu membiarkan paling tidak melarang
03:50bagaimana denyut-denyut aspirasi mahasiswa di kampus-kampus.
03:54Bagaimana corak kerajaan yang seharusnya bisa otoriter, tetapi justru sebaliknya Jogja bisa menampilkan
04:01indeks demokrasi Indonesia tertinggi di antara seluruh provinsi Indonesia.
04:05Terima kasih Ngarso Dalem.
04:07Terima kasih Rosy.