Lewati ke pemutarLewatkan ke konten utama
  • 4 menit yang lalu
JAKARTA, KOMPAS.TV - Hidup melajang kerap menjadi pilihan karena berbagai pertimbangan dan faktor, mulai dari kondisi ekonomi hingga persoalan restu keluarga.

Di sisi lain, tidak sedikit pula yang memandang bahwa pernikahan adalah sesuatu yang sakral dan menjadi sebuah keharusan.

Lalu, bagaimana memahami seni dalam menjalani pilihan hidup antara melajang dan menikah? Kita akan membahasnya bersama Psikolog Klinis Kasandra Putranto dan Peneliti Litbang Kompas Arita Nugraheni.

Baca Juga Amalan dan Doa untuk Kelancaran Resepsi Pernikahan dalam Islam di https://www.kompas.tv/kalam-hati/619612/amalan-dan-doa-untuk-kelancaran-resepsi-pernikahan-dalam-islam



Artikel ini bisa dilihat di : https://www.kompas.tv/nasional/632700/full-psikolog-klinis-dan-peneliti-litbang-kompas-bicara-soal-tren-pernikahan-di-indonesia
Transkrip
00:00Hidup melajang kadang menjadi pilihan karena faktor kemapanan ekonomi dan kebutuhan berkarir.
00:13Masyarakat melihat mereka yang memilih hidup melajang sebagai pilihan hidup yang harus dihormati.
00:19Ada juga yang memandangnya dengan cukup empati.
00:22Belum adanya pasangan hidup yang dirasa cocok juga menjadi salah satu faktor.
00:26Ada juga yang menganggap pernikahan masih menjadi hal yang sakral, bahkan menjadi sebuah keharusan bagi sebagian besar orang.
00:36Dalam jajak pendapat Litbang Kompas, sebanyak 80,8 persen responden mengaku tidak pernah terlintas dalam pikiran mereka untuk hidup melajang atau tidak menikah dalam kehidupan mereka.
00:48Hal agak berbeda ditunjukkan oleh mereka yang statusnya masih melajang atau belum menikah atau saat survei ini dilakukan sedang merencanakan pernikahan.
01:00Di kelompok ini, sebanyak 66,1 persen menyatakan pernikahan sebagai suatu keharusan.
01:05Bagi responden yang belum menikah, ada sejumlah pertimbangan mengapa mereka belum menikah.
01:12Seperti fokus pada karir, belum menemukan pasangan yang cocok, memilih hidup sendiri, memutuskan untuk tidak menikah,
01:20belum menemukan pasangan yang direstui orang tua, hingga sedang mempersiapkan pernikahan.
01:24Ada pun beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum menikah, menurut para responden,
01:31di antaranya kesiapan ekonomi, kesiapan mental, pasangan yang cocok, dukungan atau restu orang tua dan keluarga,
01:39kesiapan agama, dan kesiapan fisik.
01:43Data juga menunjukkan mereka yang sudah menjalani pernikahan lama, setidaknya 10 tahun,
01:48lebih menilai pernikahan sebagai sesuatu yang sakral,
01:51sehingga cenderung menjadi keharusan dan harus dipertahankan.
01:55Sementara bagi kelompok responden yang baru menikah atau masih melajang,
01:59melihat pernikahan tidak sesakral yang dibayangkan.
02:02Kehidupan melajang juga didasarkan sebagai pilihan untuk hidup sendiri dan mandiri,
02:07salah satunya agar bisa fokus pada dunia profesional yang digelutinya.
02:11Melajang atau menikah adalah pilihan atau hak seseorang yang harus dihormati.
02:16Ada yang memilih menikah, namun tak sedikit yang memilih melajang dengan berbagai pertimbangan,
02:21dan itu adalah hal yang lumrah.
02:24Tim Liputan, Kompas TV
02:26Saudara, hidup melajang kadang menjadi pilihan karena berbagai pertimbangan dan faktor,
02:37mulai dari faktor ekonomi hingga restuk keluarga.
02:40Sementara itu, tidak sedikit orang yang menilai bahwa pernikahan adalah sesuatu yang sakral,
02:45dan menjadi sebuah keharusan.
02:47Lantas pertanyaannya, bagaimana seni dalam menjalani pilihan hidup antara melajang dan juga menikah?
02:54Relate sekali dengan saya Saudara, mungkin Saudara juga.
02:56Kita akan membahasnya bersama psikolog klinis,
02:58Kassandra Putranto dan peliti Litbang Kompas, Arita Nugraheni.
03:03Selamat pagi Mbak sekalian, sehat-sehat semua ya di rumah ya.
03:08Mikirin soal melajang dan menikah nih.
03:10Jadi hal yang menarik, pagi ini kita akan bahas ke Mbak Arita terlebih dahulu.
03:14Mbak, dari data yang dimiliki Litbang Kompas, bagaimana persentase perbandingan responden yang memilih menikah dan juga melajang?
03:21Lalu, faktor apa sebenarnya yang melatar belakangnya yang mempengaruhi?
03:26Oke, halo selamat pagi Mas Erwin.
03:28Jadi memang kita sebenarnya berangkat dari POV untuk melihat fenomena melajang ya.
03:36Jadi kita mau lihat ada nggak sih masyarakat, bagaimana pendapat publik begitu terkait lajang ini.
03:44Jadi kita susun pertanyaan ke publik untuk jejak pendapat ini kurang lebih 500 responden.
03:51Kita mau melihat nih, satu dari bagaimana mereka melihat memilih hidup melajang.
03:57Kedua, apakah itu pernah terlintas di benak mereka, baik yang saat ini sudah menikah ataupun belum.
04:06Kemudian apakah juga gaya hidup melajang ini sudah makin diterima.
04:11Nah kita melihat 2 dari 10 begitu ya, pernah loh terlintas untuk melajang, hidup melajang.
04:19Jadi 2 dari 10 ini memang sedikit punya kecenderungan disampaikan oleh responden perempuan.
04:28Dan juga ada kecenderungan disampaikan oleh responden usia produktif.
04:34Nah dari 2 dari 10 responden yang kita lihat pernah terlintas untuk hidup melajang,
04:40kita juga melihat ada 3 dari 10 yang kemudian melihat hidup melajang itu sebagai sebuah pilihan hidup.
04:47Bukan lagi sebagai sebuah kenelangsaan begitu ya.
04:51Nah memang ini jadi temuan yang menarik, meskipun kita tidak melakukan studi longitudinal begitu ya,
04:58yang dimana kita bisa membandingkan apakah ada pergeseran atau tidak.
05:02Oke jadi tadi yang menarik juga sorotannya terkait dengan bukan karena hopeless gitu ya mbak ya,
05:08tapi memang jadi pilihan ternyata.
05:10Jadi pilihan karena nanti kita mungkin nanti setelah mbak Cassandra melihat fenomena ini,
05:18aku juga akan share bagaimana ini kemudian diterima, bukan lagi dilihat sebagai keterpurukan begitu ya.
05:25Oke, nah tadi udah dijelaskan sedikit latarnya seperti apa,
05:29nah tapi kalau kita ke mbak Cassandra,
05:31kalau kita lihat bagi kaum muda gitu ya, pemuda sekarang, pemudi sekarang,
05:35menikah masih menjadi prioritas gak sih mbak?
05:37Dan atau justru malah jadi sebaliknya?
05:43Mbak Cassandra, mohon izin, boleh dinyalakan suaranya.
05:47Boleh, baik, mohon izin.
05:48Ya, aman.
05:49Jadi apabila kita melihat kepada riwayat ya,
05:52mungkin di tahun 1960-an menikah itu muda,
05:56kemudian bergeser,
05:57naik ke 20-an, 24,
06:00lalu kemudian sempat tinggi,
06:03lalu turun lagi,
06:04nah saat ini tampaknya kembali naik lagi.
06:06Jadi kalau selain data yang tadi diperoleh,
06:08juga ada data-data lain mungkin dari BPS,
06:11dan lebih banyak ternyata pria yang memilih untuk melajang dibandingkan perempuan,
06:15begitu ya,
06:16nah ini juga mungkin ada penjelasannya,
06:18antara lain misalnya,
06:19perempuan mungkin punya kekhawatiran yang lebih besar
06:22untuk waktu produktif untuk melahirkan,
06:24sehingga tentu terbatas dengan waktu tersebut,
06:28jadi pastinya tidak berani untuk menikah di atas 40,
06:32sementara kalau pria mungkin lebih bebas.
06:35Nah kemudian persoalan lain tadi,
06:37mungkin alasan lain adalah juga tadi sudah disampaikan,
06:39bahwa ingin memiti karir,
06:42ingin memperoleh kemandirian secara finansial,
06:45dan yang saya rasa mungkin juga terkait adalah
06:48bahwa apabila memang tekanan norma sosial
06:53atau tekanan yang orang tua itu mungkin masih tetap tinggi ya,
06:58jadi harapan masyarakat itu sebenarnya lebih tetap tinggi,
07:01tidak menjadi turun sebenarnya.
07:03Tetapi menurut pendapat saya,
07:07kelihatannya adalah individu-individu masa kini,
07:10yang baik masa dewasa,
07:12usia 25 sampai 35,
07:16bahkan sampai 40 tahun sekalipun,
07:17mereka sudah lebih bisa menjelaskan dan sudah lebih fix,
07:23tegas dengan keinginannya.
07:24Jadi bahwa alasan-alasan apapun itu ya,
07:27jadi misalnya karena ingin meniti karir,
07:30ingin memperoleh penghasilan,
07:31karena alasan finansial bahwa punya keluarga dan anak
07:35pasti akan memerlukan biaya yang lebih banyak,
07:38perencanaan lebih matang,
07:39jadi mereka bisa lebih tegas,
07:42mengambil keputusan terhadap diri sendiri,
07:44dan yang jelas tetap merasa bahagia.
07:45Oke, jadi ada kedewasan berpikir di sana yang terdevelop ya Mbak ya?
07:49Tapi belakangan pilihan untuk tidak menikah ini menjadi tren nih.
07:52Sebenarnya kalau kita lihat secara gambaran umum,
07:55dari sisi psikologis,
07:56itu karena adanya konstruksi kolektif,
07:59sebenarnya karena kayak,
08:00oh dia udah mulai nih,
08:01ada sosok-sosok tertentu yang tidak menikah dan baik-baik saja,
08:05jadi bukan lagi soal hopelessness tadi,
08:06yang sudah dibawakan sama Mbak Arita.
08:08Itu gimana Mbak lihatnya, Mbak Kassandra?
08:10Ya, yang jelas kan juga karena ada fakta bahwa selama mungkin 10-20 tahun terakhir itu,
08:18Indonesia kan juga penghasil perceraian nomor 4 di Asia.
08:22Nah, ini juga menjadi salah satu alasan bahwa
08:24para individu yang lajang ingin mungkin mengambil keputusan untuk menikah,
08:32itu sangat mempertimbangkan hal tersebut.
08:34Jadi harus memikir, harus mendapatkan pasangan yang cocok,
08:37bukan asal mengambil pasangan saja.
08:40Jadi pertimbangan mereka menjadi lebih banyak,
08:43selain pertimbangan karir, finansial, pasangan, begitu ya.
08:49Nah, yang jelas, saya sepakat tadi dari beberapa penelitian juga sudah disebutkan,
08:54bahwa pria justru lebih banyak yang mengambil keputusan untuk melajang,
08:57bahkan sampai usia sekitar 43.
08:59Sementara perempuan melajang sampai usia 35,
09:03seperti tadi yang saya katakan, usia perempuan di bawah pria
09:06karena perempuan mungkin punya kekhawatiran yang lebih terhadap usia produktif mereka.
09:10Oke, Pak Kassandra tadi sudah state dari segi dorongan psikologis di sana,
09:17ada fakta-fakta menarik juga.
09:18Nah, ini fakta ini yang menarik untuk ditanyakan lanjut ke Mbak Arita.
09:22Mbak Arita, ini kalau kita lihat sebenarnya faktor apa yang pengaruh responden memilih melajang,
09:26dan tadi seperti disebutkan, ini teknis sedikit ya,
09:29mungkin dengan tadi survei longitudinal.
09:32Seberapa penting nantinya untuk, sebenarnya untuk ada feedback sih,
09:36untuk ada maksudnya lanjutan dari survei ini gitu Mbak.
09:42Oke, kalau menjawab yang pertama,
09:44menjawab yang pertama,
09:50apakah suara aku terdengar?
09:51Terdengar, terdengar Mbak.
09:53Oke, oke.
09:54Jadi untuk yang menjawab pertama,
09:56sebenarnya tekanan orang tua tidak muncul sebagai alasan terkuat masyarakat publik.
10:04Ini yang menarik sebenarnya.
10:06Sama yang disampaikan Mbak Kassandra,
10:07masyarakat kita tuh semakin lebih self-aware,
10:11dan lebih mau membangun dirinya sendiri begitu ya.
10:15Mereka alasannya kenapa?
10:16Bagi orang yang belum menikah,
10:17alasannya adalah ingin fokus ke karir,
10:20ingin mematangkan finansial mereka.
10:22Begitu juga ketika kita tanyakan ke responden secara umum,
10:25yang menikah maupun belum,
10:28poin utama mereka,
10:29hal yang paling perlu diperhatikan ketika menikah adalah
10:32kematangan finansial,
10:34dan juga mental.
10:36Tekanan orang tua,
10:39tekanan keluarga,
10:40itu sangat tipis sekali munculnya
10:43sebagai alasan mereka untuk menikah atau tidak.
10:46Dan ini sebenarnya temuan menarik.
10:48Dan kenapa kita perlu survei,
10:49bukan survei sih,
10:50studi atau penelitian longitudinal,
10:52karena menarik untuk melihat tren.
10:54Belum lagi seperti yang kita tahu,
10:56kita sempat bahas di minggu sebelumnya,
11:00bahwa perceraian itu tinggi loh di Indonesia.
11:02Dan seharusnya,
11:04bukan seharusnya ya,
11:05ada baiknya juga kita bisa mengupayakan
11:09untuk menekan angka perceraian ini.
11:11Karena tidak hanya kita kemudian merugi secara ekonomi,
11:14tapi perceraian itu kan merugi batinnya luar biasa ya.
11:18Nah ini yang coba kita upaya,
11:20kalau dari sisi kami di Litbang Kompas,
11:22pengen juga memberikan sumbangsi,
11:25bagaimana sih ketika masyarakat kita menilai pernikahan,
11:28itu tidak hanya untuk memenuhi perjalanan hidup,
11:32tapi sesuatu yang perlu kita persiapkan juga.
11:35Dan salah satunya kenapa ekonomi muncul,
11:39kemarin kita juga sempat mengolah data sekunder dari BPS,
11:43ada kecenderungan perempuan dan laki-laki yang bekerja itu
11:47relatif memulai dengan gaji yang sama.
11:50Tapi ketika perempuan menikah,
11:53dia cenderung stagnan dari sisi pendapatan,
11:56sementara laki-laki meningkat drastis.
11:59Nah ini mungkin kalau dari kacamata sosial,
12:02kita bisa melihat bahwa ruang kerja pun masih sedikit bias gender,
12:06di mana mungkin laki-laki lebih dipercaya begitu ya,
12:08untuk mendapatkan jabatan lebih tinggi,
12:11dan dia dianggap sebagai kepala keluarga,
12:13sehingga dia harus memenuhi kebutuhan ekonomi.
12:17Nah mungkin juga stagnasi ekonomi ini,
12:20yang dilihat mungkin sebagai sebagian perempuan,
12:22untuk menunda dulu pernikahan sebelum secara finansial dia mapan.
12:27Karena bagi,
12:29kalau Mbak Kassandra tadi melihat perempuan
12:31tidak bisa menunda terlalu lama karena faktor biologis,
12:35kecenderungan yang tertangkap di jajak pendapat
12:39pada periode tertentu ini justru
12:41perempuan lebih kuat begitu ya,
12:45memilih untuk menunda pernikahan
12:46asalkan karir dan ekonomi mereka mapan dulu.
12:50Mungkin ketakutannya adalah itu ketika menikah,
12:53karir mereka justru stagnan,
12:55atau bahkan mungkin mengalami kemunduran.
12:57Sebenarnya ini jadi realitas konstruk yang
12:59nggak benar,
13:01tapi tidak bisa dimenangkan juga gitu ya,
13:03harapannya bisa semakin inklusif,
13:05semakin equity,
13:06equality-nya juga di sebuah lingkungan kerjaan juga,
13:09jadi hal yang bisa sama-sama jadi sorotan.
13:12Ini karena udah jadi campuran nih,
13:15mindset antara orang untuk nantinya menikah atau tidak menikah,
13:18dan ternyata faktor sosial ekonomi itu mempengaruhi banget.
13:21Mbak Kassandra, ini liatnya gimana nih Mbak,
13:22kalau soal ini?
13:23Kita geser sedikit ke faktor sosial ekonomi,
13:25how it affects,
13:27bagaimana ini akhirnya bisa berdampak?
13:30Baik, sebenarnya justru kita harus menganalisa ini
13:35dengan lebih mendetil ya,
13:37bahwa hasil penelitian Mbak Rita ini bukan salah,
13:40benar,
13:40karena yang obyek penelitiannya kan adalah individunya,
13:45dewasa muda yang ditanya,
13:47justru ini semakin membuktikan apa yang tadi saya sampaikan,
13:51bahwa mereka lebih resilient,
13:54mereka lebih tegas untuk menyatakan bahwa,
13:58maaf buat saya,
13:59yang penting adalah ini, ini, dan ini.
14:02Masalah tekanan sosial,
14:04itu tidak menjadi hal yang penting buat saya,
14:06itu kan gitu ya.
14:07Nah, persoalannya, kalau ditanya,
14:09apakah tekanan sosial normatif masih ada?
14:11Masih.
14:12Nah, ini jawaban saya nih, ya kan?
14:14Di banyak wilayah di Indonesia,
14:17terutama di kota seluruh wilayah Indonesia gitu ya,
14:21tekanan sosial itu masih ada,
14:23baik dari masyarakat, maupun dari orang tua,
14:25tetapi karena ada pergeseran,
14:29persepsi, pergeseran, ketegasan ini tali,
14:32jadi dewasa kita lebih tegas,
14:33kalau dulu nggak berani ngelawan gitu ya,
14:35kalau sekarang udah bisa lebih berani,
14:37ini lebih penting buat saya gitu.
14:39Jadi, itu yang memang sangat mendasari adanya faktor ini,
14:45ini sangat menarik gitu ya,
14:46berarti memang kita dewasa muda di Indonesia ini,
14:50sudah lebih punya independensi untuk mengatur diri sendiri,
14:55melepaskan apa yang akhirnya mungkin menjadi tekanan sosial,
14:59atau tekanan keluarga.
15:01Nah, ketika kita bicara tentang hasil tekanan ini dari sisi finansial,
15:06pertimbangan finansial menjadi hal yang menempati faktor utama,
15:10tadi saya juga sudah katakan finansial, karir,
15:14kesempatan, kekhawatiran terhadap mungkin adanya potensi resiko,
15:20ada perceraian, ketidakmampuan membiayai,
15:22itu akhirnya menjadi satu rangkaian yang sangat menjadi pertimbangan
15:28para dewasa muda di Indonesia.
15:30Nah, tentu saja ini merupakan hal yang sangat wajar,
15:34jadi saya cenderung mendukung dalam arti,
15:38tidak bisa mengatakan bahwa ini tidak benar atau benar,
15:41karena semua kembali lagi kepada pilihan.
15:43Karena semua ini akan dijalani oleh masing-masing,
15:46kita tidak hidup di dalam mimpi orang lain, harapan orang lain.
15:51Permasalahannya kan di Indonesia masih nanya,
15:52eh, sudah kuliah, sudah selesai kuliah,
15:55eh, sudah kerja, sudah selesai kerja,
15:57eh, kapan menikah, sudah komentar,
15:58eh, kapan punya anak, sudah punya anak satu,
16:00eh, kapan punya anak dua.
16:01Nah, ini masih ada sebenarnya,
16:03walaupun dewasa muda sudah tidak terlalu mempertimbangkan,
16:08sudah bisa lebih tegar untuk berpikir,
16:10ini adalah kebutuhan saya dan saya akan menjalankan ini.
16:13Dan sekali lagi bahwa tingkat keputusan usia,
16:17tingkat usia mereka memutuskan untuk menunda itu,
16:20bahwa pria bisa sampai umur 43 sampai 44,
16:24itu tidak lagi menjadi sebuah image buruk,
16:27ih, kok dia nggak kawin-kawin, kenapa ya?
16:29Itu sudah, jadi sudah bisa lebih diterima.
16:32Karena ketegasan ini juga milik banyak orang,
16:34orang tua pun juga mungkin banyak sudah,
16:36ya sudah lah, terserah anaknya,
16:38yang penting dia bahagia, gitu ya.
16:40Nah, kalau perempuan, artinya tadi,
16:41ya itu tadi ya, mereka menghitung paling tidak
16:44sampai usia 35 sampai 36.
16:47Nah, sekalipun ada perempuan yang misalnya lewat,
16:50sampai usia 40 sampai 41.
16:53Nah, itu pertimbangannya sudah bukan sosial ekonomi lagi,
16:56tetapi justru ada pertimbangan lain,
16:58yang tentu saja mungkin kita sudah pernah dengar,
17:02misalnya ada istilah child free, gitu.
17:04Jadi mereka memang sudah memutuskan
17:05untuk tidak memiliki anak,
17:08jadi untuk supaya memiliki kualitas hidup yang lebih baik.
17:12Oke, Mbak Kassandra, ini tadi menarik,
17:14karena Mbak Kassandra sempat bilang soal tekanan.
17:16Nah, itu kan sebenarnya jadi tekanan psikologis ya, Mbak ya,
17:19ditanya, gitu.
17:20Ini bentar lagi, kita sudah mau masuk ke Desember,
17:22jadi tahunan juga ketemu sama keluarga,
17:25di akhir tahun pun nanti lebaran, gitu ya.
17:27Banyak yang suka nanya.
17:29Nah, itu gimana, Mbak, melihatnya?
17:31Apakah itu juga jadi tekanan psikologis sebenarnya?
17:33Ya, tetapi dewasa muda Indonesia sekarang sudah lebih tegas.
17:37Mereka sudah lebih bisa untuk menjawab,
17:39oh ya, insya Allah, insya Allah besok,
17:42insya Allah tahun depan, insya Allah sama siapa,
17:44ya insya Allah ketemu, gitu.
17:45Jadi mereka sudah bisa lebih nyaman dan santai
17:49untuk menghadapi seperti itu.
17:50Mungkin masih ada yang datang ke ruangan
17:52para psikolog merasa tertekan dengan kondisi psikologis tersebut,
17:56tetapi jumlahnya mungkin juga jauh lebih berkurang.
17:58Karena itu tadi, pertimbangan dan hasil penelitian,
18:01dan Barita sangat benar kalau menurut saya.
18:03Mereka justru menempatkan tekanan itu sudah paling belakang.
18:07Mereka lebih menetekan kepada karir, finansial,
18:11pertimbangan-pertimbangan ekonomis, dan lain sebagainya.
18:14Oke, jadi sebenarnya juga kalau kita lihat di Medsos,
18:18sudah banyak yang buat tutorial ya,
18:19cara menjawab tante dan om kita kalau bawel, gitu.
18:22Nah, ini mungkin juga jadi penguatan, gitu ya.
18:24Karena kita jadi dewasa muda di Indonesia juga
18:27jadi saling tahu, oh, nggak cuma saya yang berpikir seperti ini.
18:30Kritisisme ini muncul bersama-sama
18:31dan karena sebuah hal yang sebenarnya realita, gitu,
18:35yang harus dihadapi bersama-sama.
18:36Nah, ke Mbak Rita lagi.
18:38Dari data Lidbang Kompas menunjukkan,
18:40mereka yang sudah menikah selama 10 tahun
18:42memandang kalau pernikahan adalah sebagai sesuatu yang sakral,
18:45sehingga cenderung menjadi keharusan dan harus dipertahankan.
18:48Nah, ini bagaimana Mbak temuannya?
18:50Nah, menariknya sebenarnya saya mau mengkategorikan kedua kelompok.
18:58Satu yang menikah di atas, sudah di atas 10 tahun
19:01dan kelompok kedua adalah yang sudah menikah
19:04tapi kurang dari 10 tahun.
19:08Dan memang, memang kalau kita ngomongin secara mayoritas,
19:11pernikahan itu adalah sebuah keharusan.
19:13Karena itu sesuatu yang mulia, begitu ya,
19:15membangun sebuah rumah tangga.
19:16Cuma menarik ya, di kelompok yang menikah kurang dari 10 tahun,
19:21mereka tuh cukup kuat juga loh
19:23untuk bilang bahwa nggak menikah juga nggak apa-apa.
19:26Salah satu yang kita duga begitu ya,
19:29di momen-momen pernikahan kurang 10 tahun itu kan banyak refleksi ya,
19:33banyak mereka menemukan diri mereka sendiri,
19:36mungkin juga yang menikah belum selesai dengan dirinya,
19:40eh belum-belum sudah harus berdua sama orang lain.
19:45Nah, ini lagi-lagi seperti semangat kita semua ya,
19:49bahwa kita tidak mempromosikan ayo kita hidup lajang saja, tidak.
19:54Tapi yang kita coba telah adalah bagaimana
19:57orang atau publik yang melajang ini sebenarnya perhitungannya rumit.
20:02Perhitungannya tuh dimatengin,
20:04karena mereka mungkin melihat bahwa ada sandwich generation,
20:10apa ya, gelombang itu ya,
20:13dimana kita harus menanggung orang tua,
20:16kita juga harus menanggung anak.
20:17Mungkin itu yang coba masyarakat yang masih lajang ini hadapi.
20:21Dia tidak mau terjebak dalam sandwich generation itu,
20:25dia mau secara ekonomi mapan.
20:27sehingga tadi kembali kelompok yang baru menikah 10 tahun ini
20:32semacam mengingatkan,
20:35it's okay loh kalau kamu mau menunda pernikahan,
20:39sabar aja dulu,
20:40dan dulu secara kemapanan, finansial maupun emosional.
20:45Karena kemarin temuan dari tingkat perceraian yang tinggi di Indonesia,
20:49itu alasan tertinggi adalah cekcok yang tidak berkesudahan mas,
20:53soal komunikasi.
20:54Mungkin ini juga yang mau disiapkan oleh para lajang sebelum menikah.
20:58Kesiapan diri, kesiapan mental,
21:00kesiapan kemampuan berkomunikasi ketika mereka beneran menikah.
21:04Termasuk juga,
21:05tadi untuk menggenapi soal tekanan,
21:09ketika kita atau masyarakat,
21:12yang kita-kita ini masih lajang,
21:14ketemu om dan tante,
21:15kapan menikah,
21:16dan kita mampu menjawab dengan cara yang santun ya,
21:19dan kita nggak baper,
21:21salah satunya juga terekam nih dari hasil jejak pendapat,
21:24bahwa separuh itu udah tidak melihat,
21:27misalnya ya,
21:29mereka melihat saudara atau teman mereka yang usianya sudah cukup matang untuk menikah,
21:34di benak mereka udah nggak lagi kasihan yang ada.
21:37Mereka udah nggak berpikir,
21:39ih kasihan ya belum nikah,
21:40enggak.
21:4050% itu justru kayak,
21:43itu hak mereka untuk tidak menikah,
21:45itu kebebasan mereka untuk hidup melajang.
21:48Jadi ini ada,
21:50kalau misalnya kebayangnya tadi Mbak Kassandra membayangkan 10 tahun lalu,
21:54masih sakok gitu ya,
21:55masih kayak,
21:56kok belum menikah?
21:57Jangan terlalu pilih-pilih.
21:58Sekarang mungkin,
22:00bisa dilihat ada pergeseran di mana masyarakat makin terbuka,
22:04dan makin memahami kalau,
22:06oh dia pasti punya pertimbangan belum menikah.
22:09makin ada masyarakat kita yang lebih menghargai ruang privat begitu ya,
22:16makin ada masyarakat kita yang kemudian tidak terlalu ikut campur lah dengan urusan pribadi kita gitu.
22:25Jadi memang kenapa saya merasa ini jadi temuan atau riset yang cukup menarik untuk kita terus lakukan trend,
22:33karena kita bisa melihat pergeseran masyarakat kita,
22:35bagaimana masyarakat kita semakin menghargai begitu ya,
22:39menghargai dan juga mau menerima setiap fase hidup seseorang.
22:43Oke,
22:44nah ini hasilnya tadi kan,
22:46kita bisa lihat nih bagaimana jika orang di sekitarmu belum menikah nih,
22:49ada cuek karena menilai itu privasi 69 persen gitu,
22:54kepo dan sering hanya kapan nikah 31 persen.
22:57Ini polling yang dibuka di Instagram Kompas TV nih Mbak.
22:59Melihat ini bagaimana Mbak Rita?
23:02Cuek karena ini menarik sih,
23:05berarti kan ini sebenarnya menambah, memberikan validasi ya,
23:14aspek tambahan gitu ya.
23:16Aspek tambahan, temuan baru ya kan,
23:19temuan baru bahwa ya cuek aja,
23:22kita bukan mengarah menjadi masyarakat yang individualis,
23:27tidak,
23:27tapi semakin justru semakin masyarakat yang dewasa,
23:31tahu mana ranah privat,
23:32tahu mana ranah publik,
23:33mana yang perlu kita,
23:36ya kepo itu kan sebenarnya ada sisi positif,
23:39ada sisi negatif,
23:39salah satu sisi negatifnya kan kamu mencampuri urusan orang lain begitu ya,
23:44siapa tahu orang itu tidak siap loh,
23:46tidak semua orang bisa bercanda terhadap situasi privat mereka,
23:51dan mungkin beberapa,
23:53ini jadi movement yang baik,
23:54karena dalam artian 1-2 orang kan juga tertekan,
24:00dan dia menghadapi situasi kesehatan mental yang severe,
24:03karena tekanan-tekanan seperti itu,
24:06harapannya ini menjadi satu gerakan komunal,
24:09yang ayo kita harus happy,
24:11kita harus menghargai sesama,
24:13kita harus menghargai pilihan masing-masing,
24:16karena timeline orang-orang itu memang beda-beda,
24:18belum lagi kalau kita membandingkan dengan negara tetangga ya,
24:22dimana mereka mampu ketika menikah melihatnya,
24:25salah satunya misalnya kemarin aku lihat perbandingan data dari Australia,
24:29misalnya Australia, Singapura, Malaysia,
24:32tingkat perceraiannya mereka rendah,
24:34tapi cara mereka memaknai pernikahan itu sakral,
24:37jadi itu kan yang pengen kita ciptakan,
24:39memaknai pernikahan tetap sakral,
24:41tidak sedikit-sedikit karena hal yang sepele mengajukan perceraian,
24:44tujuannya kan ke situ.
24:46Nah jadi tadi juga membangun sensitivitas sebenarnya ya,
24:51jadi bukan sensi, tapi sensitif.
24:53Iya benar, jadi lebih berempati gitu ya.
24:56Nah Mbak Asandra, tadi ada beberapa poin menarik yang disampaikan sama Mbak Arita,
25:00nah terkait salah satunya adalah edukasi peranikah.
25:03Untuk duduk bareng, tadi Mbak Asandra juga sempat bahas soalnya,
25:07ini soal preferensi masing-masing,
25:09yang ngejalanin berdua gitu,
25:10jadi sebenarnya us against the world gitu ya.
25:13Nah tapi, gimana edukasi peranikah ini penting, Mbak?
25:17Dan mungkin ada sekedar tips dari best practice-nya Mbak Asandra,
25:21melihat banyaknya kasus yang mungkin pernah Mbak Asandra telah,
25:27seperti itu analisis.
25:29Ya, jadi memang artinya keputusan untuk menikah,
25:34hidup bersama,
25:35mengarungi kesulitan susah dan senang itu bersama,
25:39itu tentu perlu kesiapan mental yang luar biasa dan cocok,
25:45ya harus cocok, artinya menerima segala kelebihan dan kelemahan pasangan.
25:49Nah, persoalannya orang seringkali ketika jatuh cinta,
25:54mungkin ya hanya terpikirkan yang indah-indah aja.
25:57Wofi-dofi ya Mbak?
25:58Pertimbangan ini kan harus tinggi, harus tetap tinggi,
26:01harus tetap dilaksanakan,
26:03bagaimana menyikapi, bagaimana menerima hal-hal yang mungkin tidak bisa kita terima misalnya.
26:09Jadi, itu alasannya mengapa konseling pernikahan atau peranikah,
26:13itu sangat dibutuhkan.
26:14Di dalam konseling peranikah juga pasti ada asesmennya.
26:17Jadi, memeriksa, melakukan pemeriksaan psikologis terkait profil psikologis ke dua belah pihak,
26:24begitu ya, lalu kemudian memaparkan hal tersebut supaya apa,
26:27bukan supaya nakut-nakutin,
26:29eh, di sini orangnya begini,
26:30oh, yang sini kalau tidur ngorok loh,
26:32yang ini nggak suka tutup pasta gigi loh kalau habis pakai.
26:37Bukan itu ya, tetapi lebih kepada karakter ini seperti ini, ini, ini, ini,
26:41yang ini karakter seperti ini, ini,
26:42dan kalau bisa itu dicapai kesepakatan sebelum menikah.
26:45Jadi, memahami diri dan pasangan itu sangat penting.
26:50Itu yang biasanya dilakukan di dalam konseling peranikah oleh para psikolog yang tentu saja punya kompetensi.
26:56Oke, pertanyaan terakhir untuk masing-masing narasumber kita,
26:59tadi udah kita bahas banyak ya sebenarnya turunannya,
27:02kalau kita bahas sangat detail dan mungkin kompleks di sana pun tadi peruntukan dari temuan riset ini,
27:08bagaimana riset ini mungkin bisa dikembangkan menjadi tren,
27:11juga untuk kedewasaan masyarakat,
27:13untuk edukasi yang lebih besar lagi di masyarakat.
27:15Kita, Mbak Kassandra, mungkin ada harapan melihat dengan temuan ini,
27:20melihat fenomena ini,
27:22apa yang Mbak Kassandra kira-kira bisa simpulkan.
27:24dan semangati para dewasa muda yang di Indonesia.
27:29Saya yakin bahwa semua masyarakat Indonesia mengharapkan bangsa Indonesia ini untuk menjadi bangsa yang maju.
27:35Dan untuk itu tentu menjadi tanggung jawab kita semua untuk membangun bangsa.
27:39Nah, membangun bangsa dimulai dari keluarga kecil dan tentu saja mereka,
27:44kita semua punya tanggung jawab.
27:46Jadi, biarkanlah para dewasa muda untuk mempertimbangkan sendiri secara seksama,
27:53karena mereka layak akan menjalani dan menghasilkan generasi muda bangsa Indonesia
27:57yang tentu saja siap menghadapi tantangan dunia.
28:00Oke, kalau Mbak Arita melihatnya dari sisi riset ke depannya,
28:05mengapa ini penting dan harapannya seperti apa Mbak?
28:08Kalau menurutku ini jadi titik tolak yang sangat menarik untuk kita kembangkan,
28:19karena kalau kita ngomongin fenomena sosial itu kan sebenarnya tidak ada habisnya,
28:23dan kita bisa menjadi bangsa yang besar itu kan salah satunya dari kita memahami diri,
28:29memahami fenomena sosial di masyarakat kita.
28:32Kalau salah satunya kita membicarakan lajang, kita juga harus menggarisbawahi seperti yang kita obrolin tadi ya,
28:41kita tidak mempromosikan orang untuk melajang.
28:43Yang kita coba lakukan adalah meng-encourage masyarakat untuk lebih memahami diri,
28:49dan lebih melihat pernikahan sebagai sesuatu yang sakral,
28:52sebagai sesuatu yang harus dipersiapkan,
28:55bukan sesuatu fase hidup yang yaudahlah kita laluin aja.
28:59Selain itu, kalau dari sisi riset, ini menarik banget setiap tahun kita bisa trend,
29:03kita bisa track masyarakat kita bagaimana sih cara mereka memahami publik yang masih lajang,
29:11walaupun usianya sudah matang.
29:13Karena in this economy, lagi-lagi,
29:15kalau misalnya alasan masyarakat adalah ingin menguatkan ekonomi,
29:19jangan-jangan kalau nanti ekonomi kita baik-baik semakin membaik,
29:22ekonomi kita, situasi politik semakin membaik,
29:26nggak menutup kemungkinan loh,
29:27jangan-jangan ada kaitannya sama tingkat pernikahan masyarakat.
29:32Karena masyarakat kita semakin cerdas aja,
29:34kayak kalau kita melihat mereka tidak lagi melihat pernikahan itu sebagai bagian dari tekanan keluarga,
29:40mereka bisa benar-benar melihat pernikahan,
29:42ataupun pilihan untuk melajang,
29:44sebagai pilihan yang dipikirin beneran,
29:47mindful terhadap pilihan.
29:48Oke, tadi ada dua hal penting yang mungkin bisa kita simpulkan,
29:52yakni konseling peranikah,
29:53jadi hal yang penting untuk duduk bersama,
29:56jadi secara emosional juga terpupuk.
29:58Lalu tadi Mbak Rita menyampaikan juga,
30:01ini jadi penting karena ketajaman berpikir yang diseimbangi dengan value-value pernikahan,
30:05pernikahan sebagai hal yang sakral tidak dilupakan.
30:07Terima kasih banyak Mbak sekalian atas fruitful discussion hari ini,
30:11diskusi yang luar biasa,
30:13dengan Mbak Kassandra Putranto, psikolog klinis,
30:16dan juga ada Mbak Arita Nugraheni,
30:17selaku peneliti Litbang Kompas.
30:20Terima kasih Mbak, selamat pagi, selamat menunjukkan aktivitas,
30:22selamat akhir pekan.
30:23Selamat pagi, selamat pagi, salam hormat.
30:25Saudara saya juga ada informasi lain yang akan hadir di Sapa Indonesia.
Jadilah yang pertama berkomentar
Tambahkan komentar Anda

Dianjurkan