Skip to main contentSkip to footer
  • 6 days ago
Dalam pandangan leluhur Jawa, pemimpin bukan sekadar seseorang yang memegang kekuasaan, melainkan sosok yang mengemban **darma**—kewajiban luhur untuk menuntun, melindungi, dan memberi teladan. Seorang pemimpin digambarkan sebagai **"payung agung"**, yang menaungi rakyat dengan keadilan dan kebijaksanaan. Maka ketika pemimpin melakukan kesalahan fatal, ia sesungguhnya bukan hanya mencederai dirinya, melainkan juga merobek kain kepercayaan yang melilit hubungan antara rakyat dan penguasa.

Dalam budaya Jepang, Inggris, atau Korea Selatan, mundur dari jabatan ketika melakukan kesalahan bukan sekadar simbol malu. Itu adalah ritual penghormatan terakhir terhadap martabat jabatan. Ada kesadaran kolektif bahwa institusi lebih agung daripada individu. Seorang perdana menteri di Inggris yang kehilangan legitimasi publik mundur tanpa harus dipaksa, karena ia tahu kepercayaan rakyat adalah napas yang menghidupinya. Di Jepang, budaya *seppuku* di masa lalu melahirkan etos: lebih baik mengorbankan diri daripada menanggung aib yang mencoreng nama keluarga dan bangsa.

Namun di tanah Jawa dan Indonesia, narasinya berbeda. Kesalahan pemimpin sering dianggap "bisa diselesaikan dengan waktu", ditutup dengan basa-basi, atau dialihkan dengan retorika politik. Budaya *ewuh pakewuh* membuat bawahan segan menegur, rakyat pun terkadang memilih diam karena trauma sejarah atau takut terhadap kekuasaan. Di sinilah terjadi paradoks: leluhur kita mewariskan falsafah **"nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake"**—memenangkan hati tanpa mempermalukan—tetapi praktik politik sering justru menghindar dari akuntabilitas sejati.

Mengapa demikian? Ada akar sosiologis yang dalam. Pertama, struktur politik feodal yang diwarisi dari masa kolonial hingga kini masih menyisakan pola pikir bahwa jabatan adalah *panggonan drajat* (tempat kehormatan) bukan *panggonan darma* (tempat pengabdian). Kedua, lemahnya internalisasi etika publik di kalangan elite membuat kekuasaan lebih sering dipandang sebagai hak istimewa ketimbang amanah. Ketiga, sistem hukum dan mekanisme kontrol publik sering kali terjebak dalam tarik-menarik kepentingan politik, sehingga sulit menuntut pemimpin mundur secara bermartabat.

Dampaknya terasa hingga ke lapisan sosial budaya. Rakyat menjadi terbiasa dengan standar rendah bagi pemimpin. Generasi muda menyerap pesan bahwa integritas bisa dinegosiasikan, dan bahwa kekuasaan lebih kuat daripada kebenaran. Inilah yang menimbulkan apa yang oleh filsuf Jawa disebut sebagai **"karusakan tata titi tentreming bangsa"**—rusaknya tatanan harmoni masyarakat.

Padahal, seorang pemimpin yang berani mengakui kesalahan dan mundur dengan terhormat akan meninggalkan warisan jauh lebih abadi daripada mereka yang bertahan dengan segala pembenaran. Dalam filosofi Jawa, **"aja nganti tumindak ngerusak tatanan"**—

Category

🗞
News
Transcript
00:00Hello, friends. Today we will discuss something that may sound old-fashioned,
00:05but it is very relevant in this digital era.
00:08Have you ever heard of the Javanese philosophy, Aja Adigang, Adigung, Adiguna?
00:14This philosophy teaches us not to feel the strongest,
00:18the most powerful, or the most intelligent.
00:21It sounds simple, right, but let's look around us now.
00:25On social media, many people compete to show who is the greatest,
00:30the most powerful, the most viral.
00:33Interestingly, in developed countries such as Japan, South Korea, or the UK,
00:38their leaders highly uphold this value.
00:42When a leader makes a fatal mistake, they choose to step down.
00:47Not out of shame, but out of respect for the people and their institutions.
00:51But let's compare it with Indonesia.
00:55We often see when a public figure or official makes a mistake,
01:00what happens instead is justification or diversion of the issue.
01:04How come?
01:06There are several factors.
01:08A political culture that is still full of patronage,
01:11excessive ewuh pakewuh culture,
01:14and a legal system that is sometimes inconsistent.
01:17The impact is that society becomes apathetic,
01:20public trust is declining,
01:23what is more worrying is that the younger generation could get the wrong message,
01:27that position is more important than integrity.
01:31In fact, Javanese philosophy also teaches
01:33surah diraja ningrat,
01:35melting dening pangastuti.
01:38This means, no matter how strong the power and arrogance
01:41will be melted by wisdom and nobility.
01:45So, how does the future of Indonesia all come back to us?
01:50If we can apply these values in our daily lives,
01:54starting from yourself,
01:56maybe slowly but surely,
01:58we can build a more dignified Indonesia.
02:01What do you think?
02:03Come on, share your experiences and opinions in the comments column.
02:07Don't forget to like, subscribe, and press the notification bell
02:12for other interesting content.
02:14See you in the next video.

Recommended