Dalam pandangan leluhur Jawa, pemimpin bukan sekadar seseorang yang memegang kekuasaan, melainkan sosok yang mengemban **darma**—kewajiban luhur untuk menuntun, melindungi, dan memberi teladan. Seorang pemimpin digambarkan sebagai **"payung agung"**, yang menaungi rakyat dengan keadilan dan kebijaksanaan. Maka ketika pemimpin melakukan kesalahan fatal, ia sesungguhnya bukan hanya mencederai dirinya, melainkan juga merobek kain kepercayaan yang melilit hubungan antara rakyat dan penguasa.
Dalam budaya Jepang, Inggris, atau Korea Selatan, mundur dari jabatan ketika melakukan kesalahan bukan sekadar simbol malu. Itu adalah ritual penghormatan terakhir terhadap martabat jabatan. Ada kesadaran kolektif bahwa institusi lebih agung daripada individu. Seorang perdana menteri di Inggris yang kehilangan legitimasi publik mundur tanpa harus dipaksa, karena ia tahu kepercayaan rakyat adalah napas yang menghidupinya. Di Jepang, budaya *seppuku* di masa lalu melahirkan etos: lebih baik mengorbankan diri daripada menanggung aib yang mencoreng nama keluarga dan bangsa.
Namun di tanah Jawa dan Indonesia, narasinya berbeda. Kesalahan pemimpin sering dianggap "bisa diselesaikan dengan waktu", ditutup dengan basa-basi, atau dialihkan dengan retorika politik. Budaya *ewuh pakewuh* membuat bawahan segan menegur, rakyat pun terkadang memilih diam karena trauma sejarah atau takut terhadap kekuasaan. Di sinilah terjadi paradoks: leluhur kita mewariskan falsafah **"nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake"**—memenangkan hati tanpa mempermalukan—tetapi praktik politik sering justru menghindar dari akuntabilitas sejati.
Mengapa demikian? Ada akar sosiologis yang dalam. Pertama, struktur politik feodal yang diwarisi dari masa kolonial hingga kini masih menyisakan pola pikir bahwa jabatan adalah *panggonan drajat* (tempat kehormatan) bukan *panggonan darma* (tempat pengabdian). Kedua, lemahnya internalisasi etika publik di kalangan elite membuat kekuasaan lebih sering dipandang sebagai hak istimewa ketimbang amanah. Ketiga, sistem hukum dan mekanisme kontrol publik sering kali terjebak dalam tarik-menarik kepentingan politik, sehingga sulit menuntut pemimpin mundur secara bermartabat.
Dampaknya terasa hingga ke lapisan sosial budaya. Rakyat menjadi terbiasa dengan standar rendah bagi pemimpin. Generasi muda menyerap pesan bahwa integritas bisa dinegosiasikan, dan bahwa kekuasaan lebih kuat daripada kebenaran. Inilah yang menimbulkan apa yang oleh filsuf Jawa disebut sebagai **"karusakan tata titi tentreming bangsa"**—rusaknya tatanan harmoni masyarakat.
Padahal, seorang pemimpin yang berani mengakui kesalahan dan mundur dengan terhormat akan meninggalkan warisan jauh lebih abadi daripada mereka yang bertahan dengan segala pembenaran. Dalam filosofi Jawa, **"aja nganti tumindak ngerusak tatanan"**—