Sejarah kerajaan di Bali dimulai sejak abad ke-8 Masehi, ditandai dengan ditemukannya prasasti-prasasti. Periode awal ini didominasi oleh Dinasti Warmadewa (sekitar abad ke-10 hingga ke-11 Masehi), yang pusat kerajaannya berada di sekitar Pejeng dan Bedulu, Gianyar. Raja-raja terkenal dari dinasti ini, seperti Sri Kesari Warmadewa, Raja Udayana (yang permaisurinya adalah Gunapriya Dharmapatni dari Jawa Timur), dan Anak Wungsu, berhasil membangun fondasi kebudayaan Hindu-Buddha yang khas Bali, termasuk sistem irigasi subak.
Kedekatan geografis dan pernikahan politik membuat Bali memiliki ikatan erat dengan kerajaan-kerajaan di Jawa Timur, seperti Singasari dan terutama Majapahit. Pada tahun 1343 M, Bali ditaklukkan oleh Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit. Penaklukan ini mengakhiri masa Kerajaan Bali Kuno dan membuka lembaran baru di mana pengaruh Jawa semakin kuat.
Masa Kerajaan Gelgel dan Klungkung Setelah penaklukan Majapahit, Bali diperintah oleh keturunan bangsawan Majapahit yang mendirikan pusat kekuasaan di Gelgel (Klungkung). Kerajaan Gelgel mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-16 di bawah pemerintahan Dalem Waturenggong, menjadi pusat kekuasaan tunggal yang mengendalikan seluruh Bali dan bahkan meluas hingga ke Lombok dan Blambangan (ujung timur Jawa).
Namun, pada pertengahan abad ke-17, Kerajaan Gelgel mengalami keruntuhan akibat konflik internal dan bergeser ke Klungkung. Di masa berikutnya, Bali terpecah menjadi sembilan kerajaan kecil atau keratuan yang saling berdaulat (Badung, Tabanan, Mengwi, Buleleng, Karangasem, Jembrana, Gianyar, Bangli, dan Klungkung sebagai pusat spiritual). Inilah periode di mana kerajaan-kerajaan tersebut mengembangkan ciri khas dan kekuasaan masing-masing, mempertahankan tradisi Bali yang kental.
Kedatangan Belanda dan Perlawanan Puputan Hubungan kerajaan-kerajaan Bali dengan bangsa Eropa, terutama Belanda (VOC/Hindia Belanda), dimulai sejak abad ke-17, namun intervensi serius Belanda baru terjadi pada abad ke-19. Pemicu utama konflik adalah tradisi Bali yang disebut Hak Tawan Karang, yaitu hak raja setempat untuk mengambil kapal beserta isinya yang karam di wilayah pesisirnya. Belanda menganggap ini sebagai pelanggaran hukum internasional dan menuntut penghapusannya.
Serangkaian ekspedisi militer Belanda dilancarkan ke Bali, dimulai dengan Perang Bali I di Buleleng pada tahun 1846. Perlawanan sengit yang dipimpin oleh tokoh seperti I Gusti Ketut Jelantik di Jagaraga sempat menggagalkan Belanda, tetapi pada akhirnya Buleleng, Jembrana, dan Karangasem takluk.
Puncak perlawanan Bali terjadi pada awal abad ke-20 melalui tradisi Puputan, yang berarti "perang sampai titik darah penghabisan."
Puputan Badung (1906): Seluruh keluarga kerajaan Badung, termasuk raja dan para pengikutnya, keluar dari istana dengan pakaian adat terbaik dan senjata seadanya untuk menyerbu pasukan Belanda, memilih mati terhormat daripada menyerah.
Puputan Klungkung (1908): Peristiwa serupa terjadi di Klungkung. Dengan gugurny
Be the first to comment