Dampak Pandemi, Pedagang Sayur di Garut Merugi

  • 3 tahun yang lalu
GARUT, KOMPAS.TV - Harga sayuran di tingkat petani terus merosot. Pandemi Covid-19 disebut menjadi penyebab terpuruknya nasib para petani sayuran di Garut.

Sejak Covid-19 melanda, tingkat penjualan komoditas sayuran anjlok. Bahkan para petani kesulitan untuk menjual sayuran ke pasaran.

Andri Kuristian (44), petani sayur di Kampung Baduyut, Desa Hegarsari, Kecamatan Kadungora, mengatakan sejak sebulan terakhir harga komoditas sayuran tak menentu. Permintaan pun mengalami penurunan.

"Hampir semua jenis sayuran harganya anjlok. Cabai, kol, mentimun, kacang panjang, dan sayur lain lagi jelek harganya. Ada beberapa jenis sayur yang tidak saya panen dan dibiarkan busuk" kata Andrian.

Ia memilih tak memanen sayuran karena malah akan semakin merugi. Uang yang didapatkan pun tak setimpal dengan biaya yang dikeluarkan.

"Kayak mentimun, terong, dan jenis lalaban saya biarkan busuk. Mentimun itu harganya Rp 200 sampai Rp 300 sekilonya. Upah kuli panggulnya saja sudah lebih dari harga jual timun," ucapnya.

Harga cabai juga ikut-ikutan merosot selama pandemi ini. Cabai keriting hanya dibeli oleh bandar Rp 3 ribu sampai Rp 4 ribu per kilogram. Cabai merah juga diharga Rp 4 ribu sampai Rp 5 ribu per kilogram.

"Padahal biasanya harga cabai bisa mencapai Rp 20 ribu sampai Rp 30 ribu per kilogram. Sangat rugi dengan kondisi sekarang," ujarnya.

Ia menambahkan, saat ini sangat sulit untuk menjual sayur. Padahal para petani banyak yang masuk musim panen. Ia hanya bisa menjual dua ton sayur ke Pasar Cikopo dan Caringin, Kota Bandung. Padahal sebelumnya, ia menjual delapan ton sayur dalam satu hari.

"Sekarang jual ke Bandung juga enggak bisa tiap hari. Paling dua hari sekali, bahkan pernah ditolak juga barang di pasar karena sudah terlalu banyak stoknya," ucapnya.