Sapi, Hewan Ternak Anggota Suku Bovidae dan Anak Suku Bovinae

  • 5 tahun yang lalu
TRIBUN-VIDEO.COM - Sapi merupakan hewan ternak anggota suku Bovidae dan anak suku Bovinae.

Sapi yang telah dikebiri dan biasanya digunakan untuk membajak sawah dinamakan lembu.

Sapi sebagai hewan ternak biasanya untuk dimanfaatkan susudan dagingnya sebagai pangan manusia.

Namun ada juga bagian tubuh sapi lainnya yang bisa dimanfaatkan seperti kulit, jeroan, tanduk, sampai kotorannya.

Si sejumlah tempat, sapi juga biasa dimanfaatkan untuk penggerak alat transportasi, pengolahan lahan tanam atau pembajakan, serta alat industri lain seperti peremas tebu.

Karena begitu banyak manfaatnya, sapi telah menjadi bagian penting dari berbagai kebudayaan manusia sejak lama.

Kebanyakan, sapi ternak merupakan keturunan dari jenis liar yang dikenal sebagai Auerochse atau Urochse yang dalam Bahasa Jerman berarti sapi kuno.

Sapi ini memiliki nama ilmiah Bos primigenius yang sudah punah di Eropa sejak 1627.

Meski begitu, terdapat beberapa spesies sapi liar lain yang keturunannya didomestikasi, termasuk sapi bali yang juga diternakkan di Indonesia.

Sejarah Sapi di Indonesia

Pada 1917, pemerintah Hindia Belanda mengimpor sapi Ongole secara besar-besaran dari India.

Untuk menghasilkan sapi dengan kualitas unggul, pada 1936 pemerintah Hindia Belanda mengharuskan semua sapi jantan Jawa dikebiri, sedangkan sapi betinanya harus dikawinsilangkan dengan sapi Ongole yang telah diimpor.

Kebijakan itu pun dapat menghasilkan sapi-sapi unggul hasil persilangan di berbagai daerah.

Usaha untuk mengembangbiakkan sapi juga sudah dilakukan sejak awal 1950-an.

Saat itu Presiden Soekarno tengah mengerjakan tahapan pembangunan bernama Rencana Kesejahteraan Istimewa pada 1950.

Seorang ahli ternak asal Denmark, Prof B Seit tengah memperkenalkan metode inseminasi buatan kepada para dolter hewan di Indonesia.

Fakultas Hewan dan Lembaga Penelitian Peternakan (FKH LPP) Bogor, tempat Seit bekerja, lantas diserahi tugas pemerintah untuk mendirikan stasiun Inseminasi Buatan di beberapa wilayah sentra peternakan sapi susu.

Para dokter yang telah dilatih kemudian berpencar ke berbagai daerah di jawa dan Bali untuk mendirikan stasiun inseminasi buatan.

Ada yang ke Ungaran dan Kedu di Jawa Tengah, Pakong dan Grati di Jawa Timur, Cikole di Jawa Barat, serta Baturati di Bali.

Pun FKH LPP Bogor sendiri difungsikan sebagai stasiun untuk melayani daerah Bogor dan sekitarnya.

Para dokter hewan itu bertugas melakukan inseminasi.

Sayangnya pelaksanaan program ini tidak intensif, pelayanan inseminasi buatan sifatnya hilang timbul.

Akibatnya masyarakat kurang menaruh kepercayaan dan akhirnya program itu hanya bertahan dua tahun.

Namun balai-balai inseminasi buatan yang didirikan telah berjasa membantu mengembangbiakkan sapi, meski baru sebatas sapi penghasil susu.

Pemerintah Orde Baru di bawah Soeharto kemudian menganggap program inseminasi buatan sebagai langkah strategis untuk mendongkrak perkembangbiakan sapi peternakan rakyat.

Keberhasilan ekspor kemudian memicu pemerintah untuk menyediakan lebih banyak sapi yang siap dipasok ke luar negeri.

Pemerintah pun kembali menggalakan inseminasi buatan di berbagai daerah.

Ketika melakukan evaluasi pada 1970, pemerintah menyimpulkan bahwa semen atau sperma cair perlu diganti dengan semen baku yang lebih awet dipakai dan dibawa ke berbagai lokasi inseminasi.

Pada 1973, pemerintah Selandia Baru memberikan sumbangan semen beku secara cuma-cuma kepada pemerintah Indonesia.

Tak bisa dipungkiri, inseminasi buatan telah berhasil mendongkrak perkembangbiakan sapi dalam negeri sejak dekade 1960.

Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor sapi potong pada tahun 1968 sebanyak 34.541 ekor.

Jumlah ini naik menjadi 72.490 ekor pada tahun 1970.

Untuk menyebarluaskan sapi-sapi jenis unggul dan sapi-sapi hasil persilangan, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan Dan Kesehatan Hewan.

Di dalamnya termaktub upaya pemerintah untuk menyebarkan ternak secara merata di seluruh wilayah Indonesia.

Istilahnya “pewilayahan ternak”.

Usaha mengimpor sapi unggulan kembali dilakukan ketika Soeharto mendatangkan sapi-sapi unggul dari luar negeri, terutama Australia.

Di Tapos, sapi-sapi tersebut hendak dikawinkan dengan sapi-sapi lokal Indonesia untuk mendapat bibit berjenis sapi unggul.

Taun 1978 merupakan tahun terakhir Indonesia mengekspor sapi potong dengan jumlah hanya 400 ekor.

Dianjurkan