Jalan Berliku Menghemat BBM Bersubsidi

  • 5 tahun yang lalu
ENTAH mengapa, untuk menghemat konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono harus menempuh jalan berliku. Padahal, jalan berliku itu justru menguras anggaran pendapatan dan belanja negara dalam waktu yang semakin panjang.

Mulai 1 Agustus 2014, kebijakan pembatasan penjualan bahan bakar minyak bersubsidi diinisiasi. Itu cara kesekian selain upaya menekan konsumsi lewat penaikan harga BBM dan substitusi bahan bakar fosil melalui penggunaan bahan bakar baru dan terbarukan.

Jika mengacu ke road map energi pemerintah, pembatasan semestinya telah diberlakukan bertahap sejak 2011. Namun, baru setahun kemudian rencana pembatasan mencuat ke publik. Ketika itu, kendaraan bermesin 1.500 cc dilarang menggunakan BBM bersubsidi. Namun, rencana itu pun menguap.

Pada 2013, rencana pembatasan kembali muncul untuk diterapkan pada sepeda motor. Namun, lagilagi itu tidak pernah terealisasi. Kebutuhan BBM bersubsidi yang telah menjadi ketergantungan akut membuat setiap rencana pembatasan penggunaannya, terutama lewat penaikan harga atau pencabutan subsidi, menjadi musuh banyak kalangan.

Ancaman kekacauan sosial menjadi senjata langganan pihak yang kontra kebijakan itu. Kini setelah akhirnya pembatasan diberlakukan, yakni diawali dengan pencabutan solar bersubsidi di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Jakarta Pusat, ancaman kekacauan sosial kembali bertiup.

Kita patut bersyukur ancaman itu tidak terjadi. Meski situasi kondusif di Jakarta bisa disebabkan banyak faktor, itu ialah sinyal baik bagi jalan nyata penghematan energi. Itu juga sinyal baik bagi keniscayaan penghematan triliunan rupiah APBN. Pembatasan BBM bersubsidi dua hingga tiga tahun saja diperkirakan dapat menghemat keuangan negara hingga 40%.

Meski begitu, kelemahan teknis di sana-sini juga harus menjadi cambuk untuk perbaikan penerapan pembatasan selanjutnya. Beralihnya konsumen BBM bersubsidi ke luar Jakarta Pusat harus diantisipasi. Tanpa kesiapan di lapangan, langkah pertama itu justru akan jadi bumerang.

Rencana lanjutan, termasuk penghentian penjualan premium di SPBU lokasi peristirahatan jalan tol mulai 6 Agustus, bisa terganggu. Namun, kebijakan pembatasan BBM bersubsidi sesungguhnya hanyalah kebijakan parsial. Penerapannya sekadar bertujuan menghindari terlampauinya kuota BBM bersubsidi.

Jika tidak dibatasi, kuota BBM bersubsidi tahun ini sebesar 46 juta kiloliter bisa terlampaui menjadi 50 juta kl. Resep mujarab menghemat BBM dan APBN ialah dengan mencabut subsidi. Itulah tantangan bagi presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo dan Jusuf Kalla.

Mencabut subsidi adalah langkah strategis tidak berliku sehingga APBN dihemat dan penggunaannya dialihkan untuk subsidi yang lebih produktif. Lebih jauh lagi pencabutan subsidi mutlak diimbangi keseriusan pengembangan energi terbarukan. Itu hal yang tidak bisa ditawarkan karena itulah muara yang sebenarnya dinanti bangsa ini.

Ketergantungan terhadap energi fosil ialah musuh. Ketergantungan terhadap energi terbarukan menjadi masa depan. Bukan saja untuk Indonesia, melainkan juga dunia.